MENTAWAI,PGI.OR.ID-Salah satu pergumulan konkrit kita kini adalah bagaimana mempersiapkan warga gereja menyikapi Pemilu 2024 yang sudah di ambang pintu.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Umum (Ketum) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom pada pengantar Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI, yang berlangsung di Tuapeijat, Kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Jumar (26/1) hingg Senin (29/1).
“Sebagai bangsa, kita telah menetapkan demokrasi sebagai kendaraan menuju masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan,” ujar Pdt. Gomar.
Dan salah satu prasyarat negara demokrasi, kata dia, adalah penyelenggaraan Pemilu secara berkala, sebagai mekanisme berkala pemilihan wakil rakyat untuk menjadi penyelenggara negara.
Dia katakan, Pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat. Dengan demikian melalui Pemilu 2024 kita sedang menilai kontrak yang pernah kita berikan kepada wakil-wakil kita lima tahun, dan pada saat sama juga akan menentukan orang-orang yang kita percayai untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.
“Sekalipun Pemilu 2024 bukanlah segala-galanya, namun tanpa Pemilu 2024 yang berkualitas akan mempersulit masyarakat dan bangsa Indonesia menggapai keadilan dan kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita semua memperjuangkan dan mengawal penyelenggaraan Pemilu 2024 ini untuk sungguh-sungguh mencerminkan nilai-nilai demokrasi, yakni kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan profesionalitas, dengan tetap berpegang teguh pada keutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945,” paparnya.
Pdt. Gomar mengaku bersyukur, bahwa sejak Reformasi 1998, Indonesia telah mampu menyelenggarakan Pemilu yang makin mencerminkan nilai-nilai demokrasi, dan telah melahirkan penyelenggara negara yang lebih mencerminkan kehendak rakyat. “Namun dari pengamatan sementara akan proses demokratisasi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, kita sungguh prihatin dengan makin terpinggirkannya Etika Politik dalam pengambilan keputusan dan perilaku para elit politik kita. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa perpolitikan kita dewasa ini sebagai Politik Nir-etika,” jelasnya.
Realitas sedemikian, kata dia, adalah cermin masyarakat kita yang sakit, ketika masyarakat tidak lagi mementingkan kepatutan dalam bersikap. Perilaku manipulatif dan koruptif telah menjadi keseharian kita, paling tidak masyarakat begitu permisif terhadap manipulasi dan korupsi. “Krisis moral masyarakat sedemikian adalah juga akibat dari kegagalan agama-agama, termasuk kita sebagai gereja. Betul gereja masih hadir di tengah kehidupan masyarakat kita, sebagaimana nampak masih ada ibadah-ibadah yang mengharu-birukan,” ujarnya.
Tetapi, lanjut Pdt. Gomar, patut juga kita berefleksi, jangan-jangan kita tinggal menjalankan fungsi minimalis saja dari gereja, berupa ritus-ritus keagamaan, namun tak lagi hirau akan peran transformatif gereja yang membawa pembaharuan di tengah masyarakat.
Pada titik inilah, disebut Pdt. Gomar, kita perlu terus menggelorakan gerakan oikoumene sebagai gerakan untuk menata dunia ini menjadi rumah yang nyaman untuk didiami oleh semua. “Sayangnya, kita masih berhadapan dengan realitas yang sebaliknya, dengan terdapatnya beberapa gereja, baik pada aras sinodal maupun pada aras jemaat lokal yang kehadirannya, ganti menjadi solusi berbangsa malah harus menjadi beban kita bersama, bahkan menjadi beban aparat negara,” terangnya.
Arus balik seperti ini, tambahnya, kita saksikan sendiri dengan pergulatan yang masih terus terjadi di beberapa sinode serta deretan kasus-kasus di jemaat lokal yang sampai harus melibatkan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, oleh rupa-rupa konflik dan pertentangan. “Saya berulang-ulang menyampaikan bahwa dalam setiap konflik dan pertentangan, apalagi kalau berlama-lama, masing-masing pihak telah ikut menyumbang bagi kerusakan yang ada. Sayangnya kesadaran ini sangat kurang. Inilah ironi kemanusiaan kita, masing-masing menginginkan (bahkan mengklaim) kebenaran berpihak kepadanya, tetapi yang belum tentu adalah, apakah masing-masingnya mau berpihak kepada kebenaran,” paparnya.
Dari pengalaman memediasi konflik gereja terlihat, kata Pdt. Gomar, untuk klaim-klaim kebenaran itu, selalu berupaya mengedepankan kebenaran formal, dengan mendalilkannya atas rumusan-rumusan hukum dan perundang-undangan, entah hukum nasional atau tata gereja. “Yang sangat kurang adalah Etika Bergereja dan sikap-sikap etis, tak ubahnya dengan para elit bangsa kita yang melakoni politik nir-etika. Kita sama memahami bahwa etika jauh melampaui hukum, karena etika merupakan wahana untuk suatu pertimbangan moral mengenai hal-hal yang sepatutnya,” tandasnya.
Dengan inilah, tambah Pdt Gomar, seseorang menentukan etis tidaknya sesuatu tindakan atau keputusan. “Di sini kita tidak sedang berbicara mengenai benar dan salah, yang dari perpektif hukum bisa diputuskan secara normatif,” ujarnya.
Menurut dia, penilaian atas tindakan atau keputusan etis jauh lebih kompleks dari itu, karena tindakan atau keputusan etis tidak semata soal kepatuhan kepada hukum atau tradisi, tetapi sesuatu yang muncul dari sebuah kesadaran eksistensial. “Di sinilah masalah besar yang sedang menghantui gereja-gereja kita kini. Persoalan yang kita hadapi kini adalah masih rendahnya kemampuan dan kesadaran kita akan perlunya tindakan dan keputusan etis dalam kehidupan kita. Penyakit ini pun mengimbas juga dalam gerakan oikoueme kita, termasuk dalam proses kepemimpinan gereja, yang mensiasati kebenaran formal dan tidak memedulikan nilai-nilai etisnya,” jelasnya.
Permisifisme untuk hal-hal sedemikian, kata dia, sedang menghantui gerakan oikoumene kita. Lawrence Kohlberg menyebutkan bahwa kesadaran etis itu berjenjang, dan jenjang yang paling dasar adalah kepatuhan kepada hukum, yang ia sebut jenjang pra-konvensional. “Seseorang, tanpa perduli baik dan buruk, mendasarkan tindakannya semata pada hukum. Pada tahap ini, jika tidak ada yang mengawasi, maka bisa terjadi melakukan pelanggaran hukum tanpa merasa bersalah,” ucapnya.
Pada jenjang berikutnya, lanjut Pdt. Gomar, adalah kesadaran konvensional di mana ada upaya dan kepatuhan hukum sebagai bentuk penghargaan akan keberadaan orang lain. Dan jenjang terakhir adalah paska-konvensional, di mana ada kesadaran bahwa hukum sebagai pengaturan hidup bersama adalah produk kesepakatan, dan setiap saat bisa berubah. “Maka di sini akal sehat, toleransi dan yang memuncak pada kesetiaan hati nurani merupakan dasar dalam pengambilan keputusan etisnya,” terang Pdt. Gomar.
Pewarta: Tiara Salampessy