JAKARTA,PGI.OR.ID-Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada Kamis (27/7/2023), menyatakan keprihatinan atas diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Sebab itu, Komnas Perempuan meminta kepada Mahkamah Agung (MA) untuk segera mencabut SEMA No. 2 Tahun 2023, karena merupakan kebijakan diskriminatif, mengingat Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman suku bangsa, budaya, tradisi, termasuk agama, yang dilambangkan melalui Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam keragaman tersebut, pembaruan dan interaksi antara warga satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terjalin, termasuk hubungan yang berakhir dengan suatu perkawinan terjadi secara faktual.
Menurut Ketua Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinnekaan Komnas Perempuan Imam Nahei, MA sebagai salah satu lembaga konstitusional yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, merupakan lembaga negara yang mempunyai kewajiban untuk memajukan perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, serta dasar pertimbangan pembentukan Mahkamah Agung UU No.3 Tahun 2009 jo UU No.5 2004 jo UU No 13 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu bertujuan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum semestinya mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat (konsideran huruf b).
Komnas Perempuan mencatat bahwa pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama telah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU No.23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dengan penjelasan pasal yang menyatakan yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
“SEMA ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan,” ucap Komisoner Komnas Perempuan Dewi Kanti.
Dia menjelaskan, perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama. Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukkan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga, seperti memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama.
“Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT ketika perkawinan nya tidak tercatat,” katanya.
Sedangkan Imam Nahei kembali menegaskan, pengaturan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan umat beragama juga pengingkaran pada asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur pada pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain prinsip tidak membeda-bedakan, mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Partisipasi masyarakat Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengingatkan MA bahwa ada kewajiban Indonesia sebagai negara pihak yang hak-hak warga negaranya juga telah dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik – International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah menjadi hukum nasional UU Nomor 12 Tahun 2005 sebagaimana tertuang pada Pasal 2, termasuk hak dalam perkawinan sebagaimana tertuang pada pasal 14 dan dan Pasal 23 ICCPR juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah menjadi hukum nasional UU Nomor 11 Tahun 2005 sebagaimana tertuang pada Pasal 2, termasuk hak dalam perkawinan sebagaimana tertuang pada Pasal 10 konvensi tersebut.
Disampaikan pula, Komnas Perempuan telah mengingatkan lembaga peradilan bahwa hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana yang diatur pada pasal Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merujuk Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan bentuk realisasi atau pelaksanaan dari “setiap orang berhak” dan tindakan “membentuk keluarga” dan tindakan “membentuk keluarga” adalah pada kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang secara asasi masuk dalam ranah hukum privat atau keperdataan.
Oleh karena itu, kehadiran hukum negara dalam proses “membentuk keluarga” adalah bersifat komplemen dan pada posisi bertindak secara pasif untuk menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan. Komnas Perempuan berpendapat bahwa perkawinan beda agama juga beririsan dengan hak dasar kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi RI.
Ditambahkan, dari hasil FGD Komnas Perempuan 2022, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyampaikan sejak 2005 telah ada 1.655 pasangan berbeda agama/kepercayaan telah menikah. Bahkan di tahun 2010 mencapai 233ribu pasangan yang menikah beda agama/kepercayaan. Informasi yang disampaikan oleh Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (2022) mencatatkan bahwa ada 34,6 juta pasangan kawin, berstatus ‘kawin belum tercatat’ termasuk di antaranya karena perkawinan beda agama. Lanjutnya Perkawinan tidak tercatatkan memberikan dampak hambatan pada kehidupan perempuan dan pemenuhan hak-haknya.
Pewarta: Markus Saragih