JAKARTA,PGI.OR.ID-Sepanjang tahun 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), dengan 422 tindakan. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa menurun tipis, yang mana pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB, namun dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang ‘hanya’ 327 pelanggaran.
Demikian siaran pers Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2020 yang launching SETARA Insitute, pada Selasa (6/4). Laporan riset ke-14 ini, mengusung judul Intoleransi Semasa Pandemi. Dampak pandemi dirasakan dan mempengaruhi seluruh sektor kehidupan, termasuk dalam KBB.
Dilaporkan, peristiwa pelanggaran KBB di tahun 2020 tersebar di 29 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi pada 10 provinsi utama yaitu Jawa Barat (39), Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5). Tingginya jumlah kasus di Jawa Barat hampir setara dengan jumlah kumulatif kasus di 19 provinsi lainnya.
Sedangkan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan mengalami fluktuasi di setiap bulannya sepanjang tahun 2020, seperti pada bulan Januari (21), Februari (32), Maret (9), April (12), Mei (22), Juni (10), Juli (12), Agustus (13), September (16), Oktober (15), November (10), dan Desember (8). Angka peristiwa yang tertinggi dan drastis terjadi pada bulan Februari 2020. 2 Mengacu pada detail peristiwa yang dicatat, tren pelarangan perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) di sejumlah daerah menjadi pemicu meningkatnya intoleransi.
Dari 422 tindakan yang terjadi, 238 di antaranya dilakukan oleh aktor negara. Sementara 184 di antaranya dilakukan oleh aktor non-negara. Hal itu menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan tindakan pelanggaran oleh aktor negara tahun lalu berlanjut. Tindakan tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara adalah diskriminasi (71 tindakan), sedangkan tindakan tertinggi oleh aktor non negara adalah intoleransi (42 tindakan).
Menurut SETARA Institute, melihat potret tindakan aktor negara dan non negara, tampak bahwa pandemi menjadi lahan subur bagi terjadinya diskriminasi dan intoleransi. Konfigurasi aktor negara dan aktor non negara pelaku pelanggaraan KBB tidak banyak berubah. Pada kategori aktor negara, Pemerintah Daerah dan Kepolisian menjadi pelaku pelanggaran tertinggi dengan masing-masing 42 tindakan.
Aktor non negara tertinggi adalah kelompok warga (dengan 67 tindakan) dan ormas keagamaan (dengan 42 tindakan). Sedangkan kelompok korban pelanggaran KBB tahun 2020 terdiri dari warga (56 peristiwa), individu (47), Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan (23), Pelajar (19), Umat Kristen (16), Umat Kristiani (6), Aparatur Sipil Negara (4), Umat Konghucu (3), Umat Katolik (3), Umat Islam (3), Umat Hindu (3), Umat Buddha (2), dan Ormas keagamaan (2).
Untuk rumah ibadah, dilaporkan selama tahun 2020 yang mengalami gangguan yaitu Masjid (14), Gereja (7), Pura (1), Wihara (1), dan Klenteng (1). Sehingga total sebanyak 24 kasus. Umat Islam menjadi pihak yang paling banyak mengalami gangguan terkait rumah ibadah. Namun perlu dicatat bahwa yang paling banyak mendapatkan gangguan adalah tempat ibadah umat Islam dari madzhab atau golongan yang oleh kelompok pelaku dianggap berbeda dari mainstream.
Kasus-kasus terkait rumah ibadah seharusnya segera diselesaikan mengingat adanya urgensi kesehatan masyarakat selama pandemi COVID-19, bukan malah ditunda lebih lanjut. Kasus penghentian pembangunan, penyegelan, dan perusakan masjid, gereja, dan klenteng sebagian besar disebabkan oleh produk kebijakan yang diskriminatif, intoleransi masyarakat sekitar, dan konflik internal kepengurusan rumah ibadah.
Sementara itu, terdapat 32 kasus pelaporan penodaan agama yang dilakukan oleh aktor non-negara. Sebanyak 27 di antaranya ialah berbasis daring yang berpotensi disebabkan oleh adanya pandemi COVID-19 yang membuat orang menjadi memiliki waktu luang lebih banyak untuk menggunakan sosial media karena dirumahkan. Pelaporan berbasis daring ini dilakukan terhadap konten yang dianggap sesat pikir, menghina tokoh agama, bermuatan kebencian, dan bercanda yang melecehkan. Selain yang berbasis daring, kasus pelaporan penodaan agama juga masih terjadi di kalangan masyarakat utamanya karena dianggap menyimpang dari mahzab mayoritas dan penistaan.
Dari semua kasus ini, 17 kasus di antaranya berujung penangkapan, dan 10 di antaranya dikenakan sanksi pidana berupa denda dan kurungan. Para tahanan nurani ini biasanya dijerat oleh UU PNPS, UU KUHP, UU ITE, dan UU Ormas. Padahal, beberapa Pasal di UU ITE merupakan ‘pasal karet’ yang multitafsir dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum (lex certa).
Dari total 180 peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi di tahun 2020, setidaknya 12 di antaranya menimpa perempuan sebagai korban. Peristiwa ini meliputi pelaporan penodaan agama, pelarangan atribut keagamaan, penolakan rumah dan kegiatan ibadah, diskriminasi berbasis daring, dan penolakan jenazah penghayat mahzab keagamaan. KBB sebagai bagian dari HAM dapat dimaknai sebagai upaya untuk melindungi warga negara dari konservatisme dn patriarki yang berasal dari ajaran agama. Dalam konteks ini, kegagalan negara dalam mengidentifikasi kekhususan situasi, kerentanan, dan dampak spesifik yang dialami oleh perempuan pada peristiwa pelanggaran KBB memicu perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
SETARA Institute melihat, secara umum Pandemi COVID-19 membawa dampak positif dan negatif bagi KBB di Indonesia. Dampak positif yang ditimbulkan misalnya cakupan ibadah daring yang menjadi tak terbatas serta 3 timbulnya inisiatif gotong royong antar umat beragama. Dampak negatif yang ditimbulkan misalnya munculnya polarisasi dalam masyarakat, politisasi COVID-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan.
Sebab itu, ada sejumlah rekomendasi yang diberikan, diantaranya, pemerintah (Pusat dan Daerah) hendaknya menguatkan program kemasyarakatan yang mengarusutamakan interaksi antar agama dalam lingkungan sosial, Pemerintah (Presiden, Kementerian/Lembaga terkait, dan Pemerintah Daerah) hendaknya mengintensifkan program penguatan solidaritas antarumat beragama untuk menangkal perpecahan masyarakat, menangani penyebaran berita bohong, dan menanggulangi politisasi COVID-19 berbasis doktrin keagamaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah juga hendaknya memberikan dukungan dan mengaudit pemenuhan protokol kesehatan rumah ibadah agar umat beragama dan berkeyakinan dapat terus beribadah dengan merdeka sesuai ketentuan Konstitusi namun tetap aman di tengah pandemi COVID-19.
Berkaitan dengan tingginya kasus pelaporan penodaan agama sepanjang tahun 2020, para penegak hukum dalam lingkup Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung hendaknya menerapkan pendekatan non-pidana dalam penyelesaian kasus penodaan agama. Hal itu juga harus juga disertai oleh proses penyidikan yang terukur dan adil sesuai dengan kerangka hukum dan hak asasi manusia.
Dalam pandangan SETARA Institute, hukum penodaan agama memang problematik. Penegakannya rawan bias dan subjektivitas serta membuka ruang besar bagi multi interpretasi. Oleh karena itu, moratorium penggunaan hukum pidana penodaan agama akan menjadi langkah progresif untuk melindungi korban, termasuk kelompok agama minoritas, dari pemidanaan yang tidak adil.
Selain itu, Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahannya hendaknya menangani berbagai persoalan umum intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan mengatasi akar permasalahannya.
Pewarta: Markus Saragih