JAKARTA,PGI.OR.ID-Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) H Imam Pituduh SH MH mengatakan politik identitas, terutama praktik politisasi agama, merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai bersama terutama menjelang momentum politik, karena bisa menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horisontal.
Seperti dilansir dari ANTARANEWS.com, menurut Imam, bahaya laten ‘politisasi agama’ perlu diwaspadai bersama-sama. Karena politik identitas dan agama yang dipolitisir, adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat.
Lanjut dia, sikap pembiaran terhadap politisasi agama dan politik identitas justru membuka lebar-lebar bagi permainan semu (shadow game) yang menjajah cara berpikir masyarakat dan seakan-akan adalah hal yang lumrah, sehingga praktik yang demikian juga digunakan oleh oknum berkepentingan sebagai komoditas yang menjanjikan.
“Politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas yang favorit untuk diperdagangkan di masyarakat yang mayoritas religius. Dalil-dalil agama selalu dijadikan justifikasi untuk mengambil langkah-langkah politik bagi mereka yang menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas,” katanya.
Tidak hanya itu, politik identitas kian diperparah pasca perubahan kehidupan sosial masyarakat yang lekat dengan media sosial, serangan dan bombardier isu politisasi agama dan ideologi radikal juga bergerak masif melalui jalur online.
“Para buzzer dan robot kelompok radikal, selalu berusaha bergerak secara masif menguasai jalur digital. Mereka menggunakan ‘neuroscience’ untuk membidik dan mempengaruhi anak muda dan para pemilih mayoritas, agar dapat dipengaruhi, diinfiltrasi dan dikendalikan alam bawah sadar dan ‘lifestyle’ masyarakat,” jelas Imam.
Untuk mewaspadai dan mempersiapkan masyarakat dari maraknya isu politik identitas ke depannya, dia menilai perlu digelorakan pemahaman terhadap isu politisasi agama dan wawasan kebangsaan agar masyarakat memiliki imunitas, dan daya dobrak untuk melawan segala bentuk ideologisasi radikal, dan politisasi agama yang seiring sejalan.
“Masyarakat sebagai garda depan perlawanan harus diperkuat dalam kesatuan komando dan dilapisi dengan imunitas wawasan kebangsaan yang kuat dan dipersenjatai dengan pemahaman keagamaan yang moderat, ramah, damai, dan toleran. Karena perlawanan ini tidak bisa sendiri-sendiri,” ujar mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU ini.
Dia melanjutkan bahwa juga diperlukan militansi masyarakat yang solid untuk mampu memfilter isu, opini, dan segala narasi negatif dari kelompok oknum berkepentingan, hingga tidak ada lagi terdengar ‘noice’ di sosial media politisai agama dan ideologisasi radikal.
“Oleh karenanya, filterisasi isu, opini, berita dan segala narasi perlu dilakukan oleh semua pihak terutama pemerintah, masyarakat dan seluruh ‘stakeholder’ bangsa. ‘Check and recheck’, koordinasi, dan tabayun harus selalu dilakukan,” katanya.
Pewarta: Markus Saragih