JAKARTA,PGI.OR.ID-“Aku berjalan terus tetapi kembali lagi yang kutemui hanyalah kekacauan, kerusakan, dan keserakahan. Dimana damai? Tidak ada di Maibrat, tidak ada di Yahukimo, tidak ada di Kiwirok, bahkan Nduga masih saja senyap. Mana surga kecil yang jatuh ke bumi? Aku bahkan tidak menemukan damai di dalamnya. Kapan pertumpahan darah akan berakhir, kapan HAM akan ditegakkan? Kapan surga kecil itu akan kembali pulih? Yang kami perlu hanyalah damai di Bumi Cendrawasih.”
Penggalan puisi tersebut, dibacakan Lusy Toam, mahasiswa Papua asal Jayapura, di acara Malam Refleksi dan Perayaan Hari Perdamaian Internasional 2021, yang dilaksanakan secara virtual oleh PGI, Rabu (22/9/2021), sebagai respon pentingnya mewujudkan keadilan dan perdamaian di dunia.
Pada kesempatan itu, pesan-pesan perdamaian tidak hanya disampaikan lewat puisi, tetapi juga doa berantai lintas agama dan generasi, serta lagu. Dalam doanya mewakili orangtua, Astono Chandra Dana, selain memohon tuntunan Tuhan agar dapat bertahan di tengah pandemi, tetapi juga mengajak masyarakat serta seluruh dunia untuk saling bersinergi dalam mewujudkan perdamaian. Sedangkan mewakili remaja Muslim, Sity Nuryasyfah mendoakan agar pertikaian di sejumlah negara segera berakhir, dan berharap agar masyarakat dapat memberi hati untuk berdamai.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menegaskan, perdamaian dan rasa damai di Indonesia belum kunjung tiba, dan bahkan tidak jarang agama-agama sendiri juga pada akhirnya memprovokasi ketidakdamaian. Disinyalir salah satu penyebabnya adalah kecenderungan kita untuk mengupayakan damai bagi diri sendiri dan kelompoknya, yang tidak jarang mengorbankan rasa damai orang dan kelompok lain.
“Oleh karenanya perdamaian selalu dikaitkan dengan keadilan. Selama kita masih berpikir untuk diri sendiri dan kelompoknya, perdamaian tidak akan pernah tercapai. Maka diperlukan adanya Hari Perdamaian Internasional yang selalu mengingatkan setiap orang, kelompok bahkan negara, perlunya mengejar keadilan bersama. Kita perlu memperhatikan kedamaian orang atau kelompok lain, untuk bisa menata perdamaian bersama, perdamaian dunia,” tegas Pdt. Gomar.
Sementara itu, Sekum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty dalam narasinya terkait perdamaian di tengah pandemi Covid-19 mengungkapkan, peran agama-agama menjadi signifikan sebagai salah satu pilar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Panggilan untuk bertindak dan gerakan agama-agama selama pandemi terlihat cukup massif dilakukan. Di level internasional, lembaga kemanusiaan berbasis agama melakukan koordinasi besar-besaran untuk menggalang bantuan global, solidaritas solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan global, untuk melawan energy-energi prokematian yang juga terbangun di dalam situasi pandemi.
Gerakan serupa juga dilakukan oleh berbagai lembaga di level nasional dalam kapasitasnya masing-masing, seperti ACT, Budha Tzuchi, Lembaga kemanusiaan Katolik, Protestan, PGI dan gereja-gereja anggota, selama pandemi mengorganisir kerja-kerja kemanusiaan untuk turut meringankan beban masyarakat yang terpapar krisis akibat pandemi Covid-19.
Sebagaimana diketahui, tanggal 21 September ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Internasional (HPI), dan dilaksanakan pertama kali pada 1982, dengan tujuan mengingatkan semua orang berkomitmen pada perdamaian di atas semua perbedaan dan untuk berkontribusi dalam membangun budaya perdamaian.
Di 2021, HPI mengusung tema Recovering Better for A Sustainable and Equitable World (Pemulihan yang Lebih Baik untuk Dunia yang Adil dan Berkelanjutan). Peringatan sejalan dengan dunia yang sedikit demi sedikit mulai ‘pulih’ dari COVID-19. PBB terinspirasi untuk berpikir lebih kreatif dan kolektif untuk membantu semua orang cepat ‘pulih’, membangun ketahanan, serta membentuk dunia menjadi lebih adil dan sehat.
Pewarta: Markus Saragih