JAKARTA,PGI.OR.ID-Esensi demokrasi di era pandemi Covid-19 adalah bagaimana menempatkan masyarakat untuk tetap hidup dan menempati kehidupannya sebagai tujuan utama. Sebab itu, dibutuhkan kerjasama pemerintah dengan seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, demokrasi di Indonesia tidak mengalami kehancuran.
Demikian benang merah dari diskusi virtual bertajuk Demokrasi di Era Pandemi yang diinisiasi oleh PGI bersama KN-LWF Indonesia, pada Kamis (19/8/2021). Diskusi yang dibuka oleh Ketua KN-LWF Indonesia Pdt. M. Rumanja Purba ini, menghadirkan narasumber Merphin Panjaitan, Pdt. Debora Sinaga, DR. Robertus Robert, dan Dr. Veronika Saraswati.
Dalam pengantar diskusi, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengungkapkan, ditengah gempuran idiologi alternatif, barisan elit politik yang mengaku nasionalis-religius terpecah belah oleh ragam kepentingan, apalagi menjelang Pemilu 2024. “Memang watak masyarakat politik kita walau dibungkus dengan jargon-jargon demokrasi, namun pada kenyataannya gambaran perpolitikan kita masih jauh dari masyarakat demokratis yang kita cita-citakan,” jelasnya.
Menurutnya, kini gereja maupun masyarakat sipil terlibat dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19 sebagai panggilan yang tidak bisa kita elakkan atau abaikan. Namun demikian, bangunan utama bangsa yang menyangkut ideologi dan proses demokratisasi yang menjadi dambaan bersama, seharusnya tidak boleh dikesampingkan, sekalipun di masa pandemi ini.
Pada kesempatan itu, Merphin Panjaitan dalam paparannya menjelaskan, sebagai negara demokrasi seharusnya berjalan mengikuti kehendak rakyat karena rakyat adalah pemilik negara. Sebab itu, negara harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan rakyat, termasuk di masa pandemi Covid-19, di wilayah manapun termasuk di Indonesia. Demokrasi harus dijalankan untuk memenuhi hak asasi manusia, terutama hak hidup.
“Negara demokrasi biasa dikelola dengan dialog dan pemungutan suara, pemungutan sura sudah kita lakukan waktu Pemilu. Nah saya melihat dialog itu yang kurang dalam penentuan stretegi apa yang akan dilakukan dalam menghadapi covid. Atas nama keselamatan masyarakat pemerintah menjalankan misalnya PPKM. Apakah PPKM ini sesuai dengan keutuhan masyarakat? Ini menjadi soal. Bagi yang menerima gaji bulanan mungkin tidak soal, tapi pekerja harian ini masalah,” ujarnya.
Sekarang, lanjut penulis buku Indonesia Menciptakan Sejarahnya ini, yang dibutuhkan adalah menyatukan kekuatan untuk bagaimana menghadapi Covid-19, karena menyangkut hak hidup rakyat.
Narasumber lain, Pdt. Debora Sinaga, mensoroti demokrasi di era pandemi, terkhusus di wilayah Sumatera Utara, yang menurutnya terkesan lambat dalam hal penanganan Covid-19. Semisal dalam hal pembagian logistik dan vaksinasi. “Saya sangat terunyeh di saat ibu-ibu dan perempuan yang terpinggirkan mengatakan sampai saat ini, walaupun banyak bantuan dari pemerintah yang mengalir, kami sudah didata beberapa kali namun bantuan itu sampai sekarang tidak pernah sampai kepada kami, karena ternyata pengambilan keputusan dan untuk menentukan siapa yang berhak, itu berada di tangan orang yang memiliki kekuasaan,” jelas Kepala Departemen Bidang Diakonia HKBP ini.
Hal ini, lanjut Pdt. Debora, membuktikan bahwa memang ternyata pemahaman demokrasi, biasa yang dikatakan dari, oleh dan untuk rakyat, sudah bergeser. Dan kenyataannya rakyat menjadi terpinggirkan oleh segelintir orang yang selalu mengatasnamakan kekuasaan. Sebab itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah dengan rakyat untuk menggaungkan dan mengimplementasikan demokrasi.
Sementara itu, Dr. Robertus Robert, menyinggung soal Manajemen Krisis Otoriterian Advantage dalam kaitannya dengan demokrasi di era pandemi. Menurutnya, semua berawal dari krisis yang baru. Ada banyak pemerintahan memilih respon untuk menghadapi krisis tersebut, misalnya sebagian memilih untuk melegitimasi kebijakan otoriterian advantage sebagai sesuatu yang dianggap lebih baik atau cocok.
Lebih jauh dijelaskan, ciri-ciri otoriterian advantage, pertama, menggunakan sistem politik di tangan elit politik supaya respon bisa cepat. Kedua, pemeliharaan terhadap kendali dan kontrol yang ketat supaya jalur informasi efektif dan bisa membentengi kecaman dari publik. Model seperti ini berhasil di satu tempat, namun belum tentu berhasil di negara lain. Ada negara demokratis yang berhasil tapi ada juga yang kedodoran dalam menghadapi pandemi. Ini menjadi godaan untuk menggunakan otoriterian advantage ketika pandemi terjadi, bukan hanya oleh negara yang otoriterian tetapi juga negara rezim demokratis.
Bagaimana dengan Indonesia? Dia menjelaskan, respon terhadap pandemi yang dilakukan diantaranya mengecilkan krisis dengan harapan muncul optimisme yang leih besar, mengembangkan klaim keistimewaan kultural, mengandalkan lembaga BIN, Polri, TNI dalam tes, vaksinasi, pelacakan, mengandalkan sensor data dan info yang asimetris, dan mengandalkan segelintir elit terdekat.
“Akibatnya otoritas medis menjadi lemah, institusi-institusi demokratik gagal dimanfaatkan, kepercayaan dan partisipasi masyarakat lemah, timbul persoalan dalam hubungan pusat dan daerah. Konsekuensinya krisis menjadi lebih panjang. Lalu bagaimana kita merespon ini? Disinilah respon yang lebih kokoh bagi civil society seperti gereja atau asosiasi-asosiasi, untuk lebih ke luar karena pandemi ini hanya mungkin diselesaikan apabila ada partisipasi yang kokoh,” katanya.
Sedangkan Dr. Veronika Saraswati dari CSIS, yang menjadi narasumber terakhir menegaskan, manusia adalah akar dan tujuan dari demokrasi, sehingga masyarakat bersama-sama pemerintah adalah variabel terpenting dalam mangatasi pandemi.
“Dan, menghadapi pandemi kita berkejaran dengan waktu karena menyangkut nyawa manusia. Sebab itu, diperlukan konsisten dalam menjalankan program atau strategi yang sudah ditetapkan. Tidak hanya sekadar wacana tetapi harus bisa diaplikasikan untuk kepentingan orang lain,” katanya.
Mengacu kepada pengalaman pemerintah China dalam mengontrol pandemi Covid-19, menurut Veronika, ada yang patut diperhatikan dari apa yang dilakukan oleh negara itu, semisal melakukan pendekatan ilmiah, mengeluarkan kebijakan dan peraturan ketat, menjaga stabilitas ekonomi, kebijakan politik dan kontrol sosial ditempatkan sebagai prioritas.
Pewarta: Markus Saragih