JAKARTA,PGI.OR.ID-Sudah hampir genap satu tahun sejak kasus Covid-19 pertama muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020 dan menimbulkan bermacam dampak di berbagai sektor, salah satunya sektor pendidikan. Proses kegiatan belajar mengajar menjadi daring dengan istilah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang ternyata memunculkan berbagai tantangan, baik terhadap sekolah, murid, maupun orang tua.
Seperti dipaparkan Jabes Silaban dari Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (Yapentra), salah satu narasumber diskusi daring bertajuk Pembelajaran Jarak Jauh Sama Tidak Dengan Merdeka Belajar? yang dilaksanakan pada Selasa (6/7).
“Sejak Maret 2020 kami melakukan PJJ. Dua minggu kemudian kami semua bingung mau ngapain karena terkendala jaringan internet, dan sebagian siswa yang tidak punya gadget sehingga sulit mengakses materi pembelajaran yang diberikan guru. Kami anjurkan kerjasama dengan tetangga tapi tidak mudah juga. Terkadang dalam 1-2 minggu si anak tidak bisa belajar meski sudah dikirim materi belajar,” jelasnya.
Ada juga siswa yang akhirnya tidak ingin belajar, kemudian turun ke jalan menjadi pengamen, bahkan ada juga yang menjadi pemulung. Hal ini kemungkinan didukung orang tua yang tidak lagi memiliki penghasilan karena pandemi.
Menurut Jabes, setelah satu semester berlalu, Yapentra mengusahakan ada pertemuan siswa dan orang tua di beberapa titik kumpul secara bergantian, agar pengetahuan yang sebelumnya sudah diperoleh siswa tidak hilang. “Mulai Februari lalu kami memanggil mereka untuk belejar tatap muka di kompleks Yapenra, dan puji Tuhan sudah kembali pengetahuan mereka. Kami berusaha meminjam kan hp, dan setiap pertemuan diusahakan orang tua ikut,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Jessica Hutting dari Kampus Diakomia Modern (KDM) Jawa Barat. Diungkapkannya, berdasarkan survei yang dilakukan KDM, tantangan yang dialami orang tua di masa PJJ diantaranya kesulitan membagi waktu untuk mendampingi anak karena bekerja sehingga minim pengawasan, orang tua tidak menguasai teknologi dan materi pelajaran, cenderung ada kesengajaan kemampuan dengan anak, dan orang tua kurang berkomunikasi aktif dengan pihak sekolah untuk mengetahui perkembangan belajar anak.
Sementara tantangan terhadap anak-anak, semisal keterbatasan kepemilikan HP dan quota internet, kebutuhan berinteraksi dengan teman dan guru secara lansung, keterbatasan pemahaman pada materi yang disampaikan oleh guru, serta ketersediaan waktu luang memberikan peluang kepada anak untuk bekerja/turun ke jalan dengan alasan membantu kondisi ekonomi keluarga yang sedang menurun.
“Sedangkan tantangan yang dihadapi sekolah diantaranya beban tugas sekolah yang lebih tinggi dibandingkan sekolah tatap muka, keterbatasan guru dalam menjelaskan materi pelajaran secara daring, sehingga tidak mudah dipahami oleh anak, dan tidak semua guru menjalin komunikasi yang intensif dengan orang tua siswa, sehingga perkembangan atau kendala belajar anak tidak terpantau,” jelas Jessica.
Menyikapi kondisi tersebut, Katman, SPd, M.A, Koordinator Penjamin Mutu Pendidikan dan Kerjasama, Setditjen PAUD, Dikdas dan Dikmen, Kemendikbud mengakui kompleksitas PJJ cukup tinggi, karena tidak hanya perlu bahan ajar tetapi juga mengembangkan sikap-sikap pembelajaran, juga akses atau perangkat yang mengacu kepada kebutuhan peserta didik. Perbedaan akses dan kualitas selama PJJ mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda. Dan, studi menemukan bahwa pembelajaran tatap muka menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik saat dibandingkan dengan PJJ.
Lebih jauh dijelaskan, ketika PJJ berkelanjutan tanpa ada selingan tatap muka, maka lama kelamaan akan muncul persepsi orang tua dan juga siswa bahwa sekolah atau tidak sekolah akan sama karena belajarnya di rumah. Persepsi ini harus diantisipasi dan dikikis sehingga tidak menambah kuatitas dari anak usia sekolah menjadi berhenti sekolah.
PJJ, lanjut Katman, seharusnya bisa memberikan kontribusi pembelajaran yang efektif. Sebab saat ini sekolah diperbolehkan memilih kurikulum yang bisa diterapkan di sekolah masing-masing, boleh melakukan kurikulum secara penuh kurikulum nasional, tetapi akan banyak hambatannya, boleh juga menggunakan kurikulum darurat, dan boleh menggunakan kurikulum mandiri yang disesuaikan dengan kondisi, kelengkapan sarana-prasarana, dan kemampuan guru dalam memberikan pelajaran kepada peserta didik.
Dalam closing statement, Katman Menyinggung merdeka belajar, yang menurutnya sebuah platform dalam rangka mewujudkan pelajar Pancasila, yang memberikan pelayanan penuh untuk pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan bakat, dan kondisi, sehingga diharapkan dapat menjadi bibit manusia unggul di masa mendatang.
Sedangkan Jessica Hutting melihat, belajar di rumah adalah momen atau kesempatan bagi kita untuk kembali merefleksikan sesungguhnya merdeka belajar untuk anak-anak juga dan keluarga itu seperti apa. Atau justru menjadi momen dimana anak-anak itu bisa memilih gaya belajarnya masing-masing terkait ilmu apa yang ingin mereka dalami. Juga momen penting bagi pemerintah, keluar dan sekolah untuk sama-sama kembali mempertanyakan merdeka belajar itu seperti apa.
Sementara itu, Jabes menegaskan PJJ bukanlah pilihan, namun tetap harus dilakukan. Meski demikian upaya untuk pertemuan tatap muka penting dilakukan tanpa mengabaikan protokol kesehatan, terlebih kepada para tunanetra yang tidak bisa dilepas begitu saja.
Diskusi daring yang berlangsung sekitar 2 jam ini, merupakan rangkaian diskusi menyambut Hari Anak Nasional 2021, yang diinisiasi oleh BPA PGI, JKLPK, JPAB, KDM, Sekolah Global Mandiri, dan Yayasan Mual Hapistaran Pangaribuan. Selain narasumber, diskusi kali ini juga menghadirkan para penanggap; Ade Irawan (Sekolah Global Mandiri), Evan Rehatta (Penyiar dan MD Pro RRI Sorong), serta Nova Manullang (Yayasan Mual Hapistaran Pangaribuan).
Pewarta: Markus Saragih