JAKARTA,PGI.OR.ID-Kabaintelkam Polri Komjen Paulus Waterpauw menyebut pengamalan dan penghayatan nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman dalam membangun dan menciptakan kedamaian di Papua.
Hal itu diungkapkan saat mengikuti diskusi virtual bertajuk “Memaknai Pancasila dalam Konteks Mewujudkan Papua Damai” yang digelar Relawan Pancasila Muda, pada Kamis (22/7).
“Saya berpikir memang untuk mewujudkan pembangunan nasional di Tanah Papua, maka kita harus berpaling, berpedoman pada lima sila Pancasila,” kata Paulus.
Mantan Kapolda Sumatera Utara dan Kapolda Papua ini menuturkan, Pancasila dimaknai sebagai kepribadian bangsa, menjadi identitas bangsa Indonesia dalam diri setiap pribadi. Sebagai jiwa bangsa yang terwujud pada setiap lembaga maupun organisasi dan insan Indonesia. Pun, sebagai dasar negara yang menjadi pondasi setiap produk perundang-undangan maupun etika moral bangsa.
Pancasila, lanjutnya, menjadi visi untuk mempersatukan bangsa, menjadi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan serta kebahagian lahir dan batin. Sumber hukum dan peraturan, kata dia, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Latar belakang sejarah integrasi Papua tercatat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Sejak saat itu sudah ada intrik atau gejolak-gejolak. Permasalahan dan gejolak itu pada ujungnya menimbulkan berbagai dampak gangguan keamanan, ketentraman, dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.
Paulus berpendapat, kaum milenial sesungguhnya memiliki banyak unsur kemampuan baik dari sisi intelektualitas, kapasitas, dan konektivitas untuk dapat terlibat dalam menggerakkan perubahan. “Sebenarnya, sesungguhnya, harapan itu ada pada daerah otonomi khusus ini yang melahirkan tiga unsur penyelenggara negara di Papua. Kita kenal yang pertama adalah birokrasinya, kemudian legislator, kemudian ada Majelis Rakyat Papua. Tiga pilar ini semestinya menjadi motor penggerak perubahan Papua yang lebih sejahtera aman dan damai. Itu harapannya,” katanya.
Dia menekankan, penyelenggara negara penting dibekali dengan pemahaman, pengahayatan nilai-nilai Pancasila. “Tiga unsur itu, berdiri tegak lurus mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Karena mereka yang punya semua, mereka yang kerjakan, bicara pendidikan mereka yang punya program, kesehatan ya mereka yang punya program. Pemerintah hanya memberikan dukungan anggaran saja, kebijakan anggaran. Kalau itu mereka jalani dengan benar, dengan objektif, mendengar suara rakyat, suara pemuda, suara orang-orang tua, mama-mama, dan lain sebagainya, dibuat dalam sebuah tata aturan dan itu dijalankan dengan sungguh-sungguh itu saya pikir itu oke,” ucapnya.
Dia menegaskan, menjunjung tinggi hukum dan berbuat baik untuk mewujudkan keadilan, juga kepastian hukum di Papua, hal itu harus dilaksanakan unsur eksekutif, legislatif, dan juga Majelis Rakyat Papua sebagai simbol kultur masyarakat Papua. “Jadi mari sama-sama kita dorong ini, agar betul-betul nilai-nilai Pancasila itu bisa menjadi rel perjuangan bersama untuk mempercepat pembangunan yang sudah dijajaki oleh negara, oleh bangsa ini,” ujar Paulus.
Dalam kegiatan yang diinisasi oleh Pemuda Katolik, Peradah, SEMMI, Gemabudhi, GAMKI, PERISAI, dan IPTI ini, Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Willem Wandik menyebut bahwa ada narasi besar yang harus digarisbawahi dalam diskusi tersebut. Narasi yang dimaksud adalah Pancasila dan Damai.
“Damai dimana? Tentunya secara harfiah, menunjukkan tempat, yaitu Tanah Papua. Jika ‘tesis’ yang diajukan dalam narasi besar, tentang tempat yang bernama Tanah Papua itu, disandingkan dengan tujuan, cita-cita, harapan, goals, dan destinasi tentang ‘keadaan damai’, maka, pertanyaan yang perlu untuk diajukan, Apakah Tanah Papua itu sedang tidak damai?” kata Wandik.
Menurutnya, untuk menjawab hipotesis ‘damai’ tersebut seluruh pihak perlu mencari tahu maksud dan tujuan mengapa Tanah Papua membutuhkan kalimat ‘damai’. “Secara harfiah, kebalikan atau negasi dari kata damai itu berarti konflik. Konflik secara sederhana berarti adanya kesenjangan, baik dari sisi pikiran atau konsepsi maupun pada bentuk tindakan yang di harapkan terjadi atau tidak terjadi,” ujarnya.
Lantas dia mempertanyakan, apa sejatinya yang sedang terjadi di Tanah Papua. Apakah Tanah Papua itu Tanah yang Damai? Ataukah Tanah yang berkonflik? Dia menuturkan beberapa poin yang disebut bahwa Pancasila bisa menjadi solusi tujuan damai di Papua, seperti yang sering didengungkan banyak pihak.
“Pertama-tama, mari kita maknai kata ber-Pancasila, yang dijelaskan dalam bentuk tekstualnya, di antaranya, Pancasila itu berisi adanya cita-cita tentang keyakinan terhadap Tuhan, mencintai sesama atas dasar kemanusiaan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan,” tutur anggota DPR RI dari Dapil Papua ini.
Ditambahkan pula, mencintai persatuan di tengah keberagaman dan bukan berharap menjadi satu identitas saja. Mempraktekkan musyawarah dalam setiap persoalan berbangsa, dan terakhir Pancasila itu mengajarkan setiap orang atau pemimpin untuk berbuat adil.
Melihat substansi Pancasila, katanya, seharusnya tidak ada masalah yang diperbincangkan di Tanah Papua, Sebab, kelima asas atau fundamental sila yang menyusun makna tekstual dalam Pancasila tersebut, justru merupakan parameter kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh semua manusia yang hidup di Bumi Nusantara, tanpa terkecuali, termasuk bagi rakyat Papua.
Menyoal bagaimana fakta Pancasila di Tanah Papua, lanjutnya, mayoritas Rakyat Papua meyakini adanya Tuhan, bahkan wilayah yang dipandang paling bergejolak di Pegunungan Tengah di Tanah Papua justru telah lama menjadi pusat pelayanan gereja. “Namun, patut kita sayangkan, pada konflik bersenjata dalam kampanye agenda militer yang dilancarkan sejak operasi militer di Tanah Papua, justru para pendeta, gembala, pelayan Tuhan, ada yang tewas terbunuh, dengan alasan yang hingga hari ini, tidak bisa dijelaskan ke hadapan publik,” ucapnya. Kemudian, menjunjung tinggi kemanusiaan atau melindungi satu nyawa manusia, sama artinya dengan menyelamatkan umat manusia secara keseluruhan.
Dia menyebut hal itu adalah tujuan cita-cita dari dirumuskannya Pancasila sebagai dasar filsafat Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, sambungnya, jika mengecek fakta yang terjadi di Tanah Papua, wajah konflik militerisme, TPM, OPM, KKB, kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti dua sisi mata uang koin yang tidak bisa dipisahkan. “Dalam benak banyak orang, ketika berbicara tentang ‘Papua’, maka kalimat pertama yang terucap adalah tingginya angka kekerasan dan masalah kemanusiaan,” kata Wandik.
Dia menegaskan, Pancasila di Tanah Papua ternyata sama sekali belum eksis, padahal peristiwa monumental Pepera 1969 yang menghantarkan rakyat Papua kembali dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah secara resmi menempatkan Tanah Papua sebagai kepulauan terakhir yang bergabung bersama Republik. “Namun, nasib warga negara di Tanah Papua, masih dibayang-bayangi dengan ancaman kekerasan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya,” terang Wandik.
Di sisi lain, Pemuda Katolik Edward Wiryawan menyebut bahwa dalam konteks ancaman, thread, atau risiko, persoalan-persoalan Papua harus dikaji dalam perspektif Geo Politik. Menurutnya, ada kekuatan asing, proxy war, kepentingan globalis dalam situasi keamanan di Papua. Berbagai kekuatan itu masuk melalui pemicu seperti rasialisme, ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya.
“Menanggapi multi persoalan di Papua, kita, Indonesia punya Pancasila. Pancasila bisa dimaknai beragam, mulai dari sebagai kepribadian bangsa, social guidance, hingga kepada Pancasila sebagai cita-cita bangsa. Saya meringkas, bahwa Pancasila adalah kitab suci Warga Negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila akan cukup jika ia diimplementasikan dalam kebijakan, baik nasional maupun daerah. Papua pada akhirnya harus dilihat sebagai subjek dan bukan objek. Papua harus dilihat dalam kesetaraan, kesamaan dan bagian dari bumi Indonesia; dari negeri Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya.
Turut hadir beberapa penanggap lainnya, antara lain Ketua Umum SEMMI Bintang Wahyu Saputra, Ketua Umum Gemaku JS Kristan, Ketua Umum Peradah I Gde Ariawan, dan Sekretaris Jenderal Gemabudhi Suprionoto.
Pewarta: Markus Saragih