Mengutip riset dari SETARA Institute, adanya Pandemi Covid19 justru menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kasus intoleransi di Indonesia. Hal ini terlihat melalui temuan SETARA Institute yakni sepanjang 2020, angka peristiwa intoleransi yaitu 180 peristiwa dengan jumlah tindakan sebanyak 422 tindakan. Kasus-kasus intoleransi ini tersebar di 29 provinsi dengan pelakunya meliputi 238 aktor negara (Pemerintah Daerah dan pihak Kepolisian), dan 184 aktor non negara (kelompok warga dan ormas keagamaan). Adapun kelompok korban kasus intoleransi selama tahun 2020 terdiri dari warga (56 peristiwa), individu (47), Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan (23), Pelajar (19), Umat Kristen (16), Umat Kristiani (6), Aparatur Sipil Negara (4), Umat Konghucu (3), Umat Katolik (3), Umat Islam (3), Umat Hindu (3), Umat Buddha (2), dan Ormas keagamaan (2).
Adanya data ini jelas memperlihatkan bahwa isu mengenai intoleransi masih menjadi isu serius di negeri ini. Bahkan guncangan dahsyat dari pandemi Covid19 tidak mampu menghentikan angka intoleransi. Adanya pandemi harusnya membuat tiap warga bangsa meningkatkan rasa belas kasih pada sesama tetapi dalam kenyataannya malah kita jumpai sikap saling memusuhi. Hal ini menandakan bahwa persoalan tentang agama dan “Tuhan” yang disembah masih menjadi sasaran empuk untuk saling serang kebenaran.
Pembahasan
Intoleransi dan Faktor Penyebabnya
Pembahasan mengenai isu intoleransi di tanah pertiwi ini akan terus menjadi isu serius yang menuntut adanya usaha untuk menangani masalah ini. Sebab, jika isu ini tidak diatasi maka impian mengenai terwujudnya Indonesia yang bersatu sebagaimana amanat sila ketiga dari Pancasila tidak akan pernah tercapai.
Toleransi yang selama ini didengungkan justru hanya menjadi suatu seruan penghantar menuju matinya rasa kemanusiaan. Di sinilah akan lahir dan tumbuh intoleransi. Adanya intoleransi hanya akan membuat sesama anak bangsa saling serang kebenaran mengenai agama dan “Tuhan” agama manakah yang benar dan patut dipuji. Dengan demikian, secara sederhana intoleransi dapat diartikan sebagai upaya penyangkalan tentang keberagaman yang ada di tanah pertiwi.
Melihat tingginya kasus intoleransi, maka pertanyaan kritis yang patut diajukan sekaligus dijawab dalam waktu yang bersamaan ialah apa penyebab utama dibalik munculnya intoleransi? Menurut Luthfi Assyaukanie, setidaknya terdapat empat alasan dibalik tumbuh suburnya intoleransi di negeri ini. Alasan-alasan itu ialah :
- Tafsir Pancasila
Pancasila tidak hanya menjadi alat perekat tetapi sekaligus dapat menjadi alasan untuk berpisah dari negara kesatuan. Hal ini muncul dalam kalangan umat Islam, khususnya gerakan Darul Islam yang menganggap bahwa Pancasila itu bertentangan dengan Islam. Pada pihak yang lain, tafsir pada kata Tuhan pada sila pertama juga dikritik. Kaum yang berasal dari agama mayoritas mengganggap bahwa lebih tepat digunakan kata Allah dan juga prinsip “esa” pada sila pertama itu tidak sejalan dengan keyakinan trinitas dalam kekristenan. Ketegangan pada tafsir sila pertama ini yang lalu membuat satu golongan agama menyerang golongan agama lain.
- Pasal-Pasal Religius
Kata agama dalam UUD 1945 setidaknya muncul sebanyak 13 kali dan tiga pasal di antaranya mengandung potensi bagi terciptanya intoleransi. Ketiga pasal tersebut ialah Pasal 9 tentang Presiden, Pasal 28 tentang kebebasan dan Pasal 31 tentang sains dan teknologi. Ambil contoh pasal 9 yang mengatur tentang sumpah pada saat pelantikan presiden. Penggunaan kata “demi Allah saya bersumpah” sebenarnya mengindikasikan bahwa yang berhak menjadi presiden ialah agama yang menggunakan kata Allah saja yang bisa memimpin negeri ini. Di pihak yang lain, ruang bagi kaum atheis memimpin tidak ada.
- UU Penodaan Agama
Tanpa disadari, UU Penodaan Agama juga berpotensi besar melahirkan isu intoleransi. Penodaan agama di satu pihak menyeret orang ke meja hijau tetapi pada pihak yang lain, pihak yang merasa ternista tidak akan tinggal diam. Mereka lalu mendesak pengusutan kasus tetapi desakan itu disertai dengan tindakan premanisme.
- Aturan Rumah Ibadah
Adanya Aturan Pembangunan Rumah Ibadah yang tertuang dalam SKB dua kementerian tahun 2006 yang menegaskan bahwa pendirian rumah ibadah sekurang-kurangnya harus mengantongi dukungan 90 orang ber-KTP, memiliki izin berupa surat pernyataan tertulis dari 60 warga di sekeliling lokasi rencana pendirian, serta disetujui oleh kepala desa/wilayah. Selain itu, dia juga harus mengumpulkan surat rekomendasi dari Kementerian Agama dan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat. Syarat-syarat ini yang kemudian membuka peluang bagi tumbuh suburnya intoleransi dalam hal pembangunan Rumah Ibadah di negeri ini.
Dengan melihat empat alasan munculnya intoleransi sebagaimana yang dikemukakan oleh Assyaukanie, maka jelas bahwa intoleransi muncul tidak hanya karena faktor penyangkalan pada nilai-nilai keberagaman yang menjadi identitas bangsa Indonesia, tetapi adanya aturan-aturan negara juga turut memberi sumbangsih pada tingginya intoleransi. Itu berarti, untuk memutus mata rantai kebencian sesama anak bangsa tidak hanya sebatas menyerukan kerukunan tetapi harus disertai dengan keseriusan mengevaluasi aturan-aturan yang ada, yang sebenarnya berpotensi melahirkan intoleransi.
Pandemi, Rangsangan Meningkatkan Bela Rasa
Adanya pandemi sebenarnya harus menjadi momentum bagi sesama anak bangsa untuk merekatkan kembali ikatan persaudaraan setelah sekian lama diwarnai oleh ketegangan karena adanya saling klaim kebenaran tentang agama dan “Tuhan” agama mana yang paling benar. Harusnya pula sebagai warga bangsa yang sering bertikai, kita perlu merasakan kejenuhan karena tidak bisa hidup tenteram kalau konflik mempertahankan identitas diri terus dipermasalahkan.
Sudah saatnya pula sikap egois kita tanggalkan dan mulai belajar peduli pada manusia. Banyak korban berjatuhan akibat pandemi. Korbannya bukan dari golongan tertentu, melainkan turut dirasakan oleh semua golongan masyarakat. Bukankah beban penderitaan yang sementara dipikul akan menjadi ringan apabila sebagai anak bangsa kita saling memberi perhatian? Bukankah banyak yang menjerit membutuhkan pertolongan kita di saat-saat seperti ini? Lalu, guna apa kita terus saling serang dan membangun permusuhan? Ini adalah momen penting untuk dapat saling menanggung beban secara bersama.
Untuk bisa tiba pada tahap tenggang rasa, maka penghormatan yang tinggi pada martabat dan hak-hak manusia perlu diperhatikan. Bahwasanya manusia bermartabat. Martabat itu merujuk pada nilai diri. Karena itu, agama-agama manusia harus mengajarkan tentang pentingnya sikap menghargai. Hal itu harus bisa terwujud melalui adanya perasaan aman dari individu yang beragama.
Agama tidak boleh mengancam. Agama harus baik ter hadap siapa saja. Terhadap siapa saja juga berarti, tidak hanya terhadap mereka yang se-iman. Jadi, juga baik terhadap mereka yang imannya berbeda. Mereka pun diciptakan dan dicintai Allah. Setiap orang sekecil bagaimana pun, juga, dengan kepercayaan tulus mana pun, adalah tujuan pada dirinya sendiri. Dengan memerhatikan martabat dan hak asasi tiap insan Indonesia, kita sementara ada dalam perjalanan memahami makna Persatuan Indonesia yang di dalamnya memunculkan karakteristik masyarakat yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan.
Penutup
Sudah saatnya sebagai warga bangsa, kita perlu menjauhi debat agama dan saling serang kebenaran tentang agama dan “Tuhan” agama mana yang benar. Kita perlu belajar membuka ruang dialog untuk saling memahami perbedaan. Dan di momen pandemi inilah, sejarah baru untuk saling merangkul perlu digiatkan. Harusnya kita lelah dengan konflik atas nama kepentingan. Kita perlu untuk beralih dari kebiasaan yang cenderung saling menyakiti. Percayalah, Tuhan tidak pernah menuntut kita membela Dia. Yang Dia mau, kita hidup saling merangkul. Pandemi telah mengubah sejarah kita. Untuk itu, tidak perlu lagi saling serang melainkan belajarlah untuk saling menanggung beban bersama.
Penulis: