JAKARTA,PGI.OR.ID-Kehadiran negara dalam menegakkan konstitusi untuk mewujudkan toleransi di masyarakat menjadi kunci kehidupan yang selaras di tengah masyarakat. Sayangnya, negara tidak benar-benar hadir saat banyak tindakan intoleransi terjadi di tengah masyarakat.
Demikian ditegaskan Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom dalam diskusi bertajuk Toleransi Harga Mati, di acara Visi Negarawan MetroTV, pada Jumat (5/1/2024).
Lebih jauh dijelaskan Ketum PGI, negara berperan sangat sentral dalam memastikan law enforcement terus berjalan. “Tindakan intoleransi yang terjadi dalam kajian kami dilakukan bukan oleh agama-agama tetapi oleh penganut agama,” tandasnya.
Disitulah, lanjut Pdt. Gomar Gultom, dibutuhkan negara untuk menegakkan hukum dan konstitusi. Sayangnya negara membiarkan tindakan intoleransi. Dia menduga, pembiaran terjadi karena para elit negara lebih mementingkan konstituen dibanding konstitusi. Bangsa ini kehilangan pemimpin yang memiliki sifat kenegarawan yang setia pada konstitusi.
“Sayangnya yang terjadi sekarang konstitusi dikangkangi demi konstituen,” ujarnya.
Menurutnya, toleransi bagi bangsa Indonesia, merupakan warisan yang luar biasa dan sudah menjadi identitas namun harus dipelihara dan diperjuangkan. Toleransi yang sudah berkembang diganggu egosenterisme para penganutnya.
“Toleransi yang sudah ada dan menjadi DNA bangsa Indonesia itu diganggu oleh agama-agama tetapi oleh penganutnya,” terang Pdt. Gomar Gultom.
Karena itu, dibutuhkan pemimpin yang mampu menegakan hukum dan konstitusi agar konstitusi tetap terpelihara. Penegakan hukum dan kehadiran dinilai hilang saat pelaku tindakan melawan hukum dilakukan atas nama agama.
“Hasil kajian kami di PGI membuat kami tidak terlalu yakin bila penolakan rumah ibadah itu murni dari masyarakat sebab ada pengaruh dari kepentingan-kepentingan elektoral elit politik baik dengan tindakan provokatif atau pembiaran,” katanya.
Dia pun menyayangkan rusaknya sistem ketatanegaraan yang terjadi belakangan ini. Sebagai contoh kasus GKI Yasmin yang sudah berkekuatan hukum tetap di tingkat Mahkamah Agung tetap tidak bisa dieksekusi sebab kasus itu menjadi kewenangan Pemda Bogor.
“Kasus GKI Yasmin misalnya jaman Presiden SBY sdh clear secara hukum sampai ke mahkamah Agung, inkrah di mahkamah Agung tp tdk bisa di eksekusi. Presiden katakan tdk bisa mencampuri urusan Pemda,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Marsudi Syuhud menilai ajaran agama sudah membimbing masyarakat namun perubahan di masyarakat membuat nilai-nilai toleransi harus terus disosialisasikan kepada generasi-generasi berikutnya.
“Negara agama itu sudah sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana piagam Madinah yang menyatakan Madinah sebagai potret keberagaman di kota Madinah yang beragam masyarakatnya saat itu,” katanya.
Sedangkan Penggiat Kajian Konstitusi Sukidi, Ph.D mengatakan, para pendiri negara tidak menggunakan kata mayoritas minoritas untuk konteks ke Indonesiaan. Justru memberikan kepastian bahwa negara itu untuk melindungi seluruh warga negara.
Pewarta: Markus Saragih