JAKARTA,PGI.OR.ID-Biro Litbang PGI bersama Interfidei menggelar peluncuran sekaligus bedah buku Demokrasi Indonesia: Persimpangan Antara Pluralisme Agama dan Politik Negara, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Senin (9/10/2023).
Buku karya Pdt. Victor Rembeth ini, mengulas gagasan dan aksi almarhum TH. Sumartana, seorang seorang teolog Protestan dan aktivis, dalam isu antariman (agama) dan demokrasi, sebagai sumbangan yang signifikan dalam proses pembangunan nasional Indonesia. Selain itu sosok yang bergaul dengan semua kalangan seperti Dhaniel Dakidae, Djohan Effendy, Gus Dur, Eka Darmaputera, Gedung Bagus Oka, dan banyak lagi, menjadikan pribadi “Pak Tono” mendekati paripurna. Hal itulah yang ditelorkan dalam Lembaga Interfidei yang menjadi kancah perjuangan demokrasi, pluralism agama, dan kebebasan berkeyakinan.
Tidak hanya di Interfidei, Sumartana juga pernah mendikasikan dirinya di sejumlah lembaga, diantaranya dosen tetap Program Pascasarjana Studi Agama dan Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah, DEMOS, Redaktur Teologi pada BPK Gunung Mulia (1972-1975), staf Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia (sekarang PGI), Jakarta (1975-1982).
Peluncuran ditandai dengan penyerahan buku tersebut oleh Victor Rembeth, yang didampingi Wabendra PGI Arie Moningka, Kabiro Litbang PGI Pdt. Shurej Tomaluweng, dan Direktur Interfide Elga Sarapung, kepada Direktur Urusan Agama Kristen Kemenag RI Amsal Yowei, yang mewakili Dirjen Bimas Kristen.
Usai peluncuran dilanjut dengan bedah buku yang dipandu Pdt. Margie Dewana. Sejumlah penanggap dihadirkan dalam sesi ini, seperti Sekum PP. Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekum BPN Peruati Pdt. Obertina M. Johanis, Kepala KSDK BRIN Prof. Dr. M. Alie Humaedi, dan Ketua Komisi Antar Agama PGI Pdt. Dr. Martin L. Sinaga.
Pada kesempatan itu, Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa buku ini sangat menarik karena memuat berbagai pemikiran luar biasa dari Sumartana. Sebab itu diharapkan akan ada edisi kedua, dengan kajian mendalam, terlebih dalam tahun politik yang sangat menentukan Indonesia untuk 5 tahun mendatang.
Menurut Sekjen PP Muhammadiyah ini, apabila umat menghilangkan rasa superioritas agamanya, dan kemudian membangun kultur demokrasi yang sehat, maka negara akan berdaulat sehingga kerukunan akan sangat dimungkinkan. Tidak hanya saling hormat tapi dapat bekerjasama dalam ketulusan.
Menyinggu demokrasi, Abdul Mu’ti melihat hal ini masih menjadi tantangan di Indonesia saat ini. “Demokrasi kita sedang menghadapi masalah, karena yang ada sekarang demokrasi prosedural yang pada akhirnya melahirkan tirani mayoritas, dan mengerdilkan masyarakat sipil. Sebab itu perlunya dilakukan penguatan Pancasila sebagai dasar negara untuk Indonesia yang menjadi rumah bersama, ini adalah tanggungjawab seluruh umat beragama,” tandasnya lewat video.
Sementara itu, Martin Sinaga melihat, buku ini secara jelas memetakan pemikiran Th. Sumartana tentang situasi Protestantisme Indonesia, tantangan identitasnya sekaligus peluang kolaboratifnya dalam pembentukan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, tantangan utama Protestatisme ada pada beban identitasnya akibat misi yang umumnya bercorak kolonialistis. Untuk itu TH. Sumartana mengurai daerah misi di Jawa, dan mencari alternatif model pertumbuhan gereja di Indonesia.
Secara khusus dia mensoroti Bab 2 buku ini, yang menguraikan pergulatan beban identitas, melalui sejarah misi Protestan. Sekaligus kemungkinan terobosan sebagaimana diupayakan oleh Kiai Sadrakh, dalam horizon religiositas inklusif-emansipatif Indonesia, sebagaimana dikembangkan oleh Kartini. Ambiguitas identitas Protestan lainnya juga disoroti, yaitu model “gereja suku”, yang tertutup namun teologinya barat.
Sedangkan dari persepektif perempuan, Obertina Juhanis melihat buku ini masih sangat relevan dan penting untuk konteks Indonesia yang beragam. Buku ini juga sangat penting untuk dibaca tidak hanya oleh gereja, tetapi juga lintas iman. “Sebab itu, masukan saya, semoga ada julid 2 dari buku ini yang lebih praktis dan bisa dipakai oleh anak muda karena begitu pentingnya gerakan lintas iman,” katanya.
Dia pun mengaku sangat tertarik dengan pemikiran Th. Sumartana yang memasukkan icon Kartini dalam dialog antar agama. “Menurut saya ini sangat luar biasa, karena dialog sering menjadi ruangnya pria, sehingga perempuan, juga anak muda, tidak mendapat tempat, dan akhirnya membuat ruang sendiri dalam komunitas,” tandas Obertina.
Penanggap terakhir, M. Alie Humaedi secara khusus mensoroti titik tertentu Kiai Sadrach, dan sosok ini juga menjadi inspirasi utama dari pemikiran Th. Sumartana terkait pluralisme. Th. Sumartana hanya melihat sisi perdebatan antara Kiai Sadrach sebagai pengabar pribumi dengan kelompok zending sebagai perwakilan kolonial, di mana dia menyimpulkan bahwa “Kristen seharusnya bersifat terbuka terhadap pemikiran dan praktik entitas budayanya.
Upaya ini yang mengarah pada lansiran pluralisme agamanya; Padahal, pembangunan pluralisme agama dan moderasi beragama telah dimulai Sadrach dalam relasinya dengan 2 pihak lain di Desa Derma (peta belanda, saat ini disebut Kasimpar Pekalongan). Sadrach secara aktif membangun hubungan baik dengan Ki Ageng Panderesan (Islam) dan Ki Agung Naluri (Kepercayaan). Secara emik, cerita ini dikemas sedemikian rupa dalam membentuk “tradisi naluri” sebagai pilar penghargaan terhadap mereka yang berbeda agama dan budaya.
Ritual “selasa selapanan”, sebagai perjalanan suci dari jemaat Gereja Kerasulan Jawa Pantai Utara Jawa ke Karangyoso Bagelen, menjadi perjalanan penghargaan terhadap entitas-entitas keagamaan yang berbeda. Dalam konteks inilah, masyarakat desa menjadi contoh akurat dari bangunan pluralism agama (antar agama, dan antar budaya).
Alie Humaedi melihat, buku yang sangat luar biasa ini menjadi pengingat kita akan pemikiran Th. Sumartana, dan membawa kita untuk harus bersama-sama membangun politik negara demokrasi yang lebih beradab, yaitu menjadikannya sebagai saluran politik secara elektoral tetapi berbasiskan pada visi dan misi pembangunan dan kesejahetraan masyarakat yang bagus dan terimplementasikan dengan baik.
Pewarta: Markus Saragih