CIGUGUR,PGI.OR.ID-Doa lintas agama (Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Protestan), bersama penganut Sunda Wiwitan, pujian Riri Kurniasih, serta tari Buyung yang diiringi alunan musik tradisional khas Jawa Barat oleh komunitas Akur Sunda Wiwitan, mengawali pembukaan Seminar Agama-Agama (SAA) ke 37 PGI, di Balai Paseban Tripanca, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada Rabu (16/11/2022).
Prosesi pembukaan berlangsung hikmat. Tidak hanya diikuti oleh seluruh peserta seminar, tetapi juga Kepala PKUB Kemenag RI, Kepala Kesbangpol Kuningan, Forkopimda Kuningan, tokoh lintas agama, serta para pimpinan gereja.
Perhelatan yang menjadi agenda tahunan PGI ini, sengaja dilaksanakan di tengah komunitas Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur, sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan PGI terhadap persoalan yang dialami komunitas penghayat agama leluhur, secara khusus komunitas Masyarakat Adat Cigugur, yang telah lama mengalami diskriminasi.
Selain itu, PGI juga ingin membangun kesadaran dan kepedulian banyak pihak, baik kelompok adat, akademisi, peneliti, mahasiswa, pegiat budaya, dan pemuda lintas agama, terhadap apa yang selama ini dialami kelompok masyarakat penghayat agama leluhur.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI Dr. H. Wawan Djunaedi, MA, dalam sambutannya, sekaligus membuka kegiatan ini mengatakan, SAA ke 37 PGI sangat penting, dan tidak tanpa sebab jika dilaksanakan tepat pada Hari Toleransi Internasional. “Forum ini bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional, karena toleransi adalah upaya umat manusia yang pada hakekatnya diciptakan secara beraneka atau bhinneka,” katanya.
Lebih jauh Wawan Djunaedi menjelaskan, dalam rangka mewujudkan toleransi, pemerintah melalui Kemenag RI, telah menggaungkan apa yang disebut moderasi beragama, sebagai sebuah gerakan. “Sebagai gerakan maka harus dilakukan selama kita masih bernafas. Karena moderasi merupakan ihtiar bagi kita untuk merawat bangsa. Hanya dengan moderasi beragama mengajak kita untuk mengingatkan kembali bagaimana beragama dengan benar, seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat kita sejak dulu, yang telah terbiasa dengan toleransi.
Hal senada juga disampaikan Kepala Kesbangpol Kuningan Dr. H. M. Budi Alimudin, MSi. Menurutnya, moderasi beragama menjadi isu strategis dalam rangka mewujudkan toleransi. Moderasi beragama bukan hal baru bagi bangsa Indonesia, karena masyarakat Indonesia telah memiliki modal sosial yang cukup mengakar di tengah masyarakat nusantara. “Meski demikian kita memang harus terus diingatkan agar kehidupan keberagamaan di Indonesia tetap terjaga, dan tidak digerogoti oleh kepentingan-kepentingan yang bisa memecah belah bangsa ini,” ujarnya.
Dia pun berharap seminar ini semakin mengokohkan moderasi beragama di Indonesia, dan dapat menolong untuk lebih menghargai, mengenal dan menghormati umat agama lain, termasuk terhadap komunitas penghayat agama leluhur, dan dapat memberi manfaat dalam rangka menjaga bangsa, dan membangun sinergi bagi negeri.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI Pdt. Jimmy Sormin menegaskan, salah satu komunitas yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dan intoleran adalah para penghayat atau penganut agama leluhur. Sistem keagamaan/kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum agama-agama dunia masuk ke ibu pertiwi ini, tampak menjadi inferior. Akses terhadap pelayanan administrasi publik dan Pendidikan misalnya, di beberapa daerah masih menghadapi tantangan yang tak mudah.
Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 dengan jelas menyatakan bahwa penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama mayoritas. Putusan itu juga dengan tegas membuat status identitas religius para penghayat atau penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom Kartu Keluarga (KK) serta Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Oleh karenanya PGI menggelar program tahunan bertajuk Seminar Agama-Agama (SAA) ke-37 dengan mengangkat tema Rekognisi, Pemenuhan, dan Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan bagi Warga Negara. Dengan harapan melalui kegiatan ini akan terjadi dialog atau diskusi yang konstruktif bagi para aktor antar-iman, akademisi, masyarakat adat, dan pegiat isu kebangsaan, agar dapat memberi rekomendasi atau berkontribusi upaya bersama dalam membangun perdamaian dan keadilan bagi seluruh warga negara,” tandasnya.
SAA ke 37 PGI akan berlangsung hinggal 19 November 2022. Seminar kali ini menghadirkan beberapa tokoh sebagai narasumber, seperti Kepala PKUB Kemenag RI Dr. Wawan Junaedi, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, Nia Sjarifuddin dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Wawan Gunawan dari Jakatarub Bandung, Engkus Ruswana (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), Husni Mubarak dari PUSAD Paramadina, Samsul Ma’arif dari CRCS UGM, Asfinawati dari YLBHI, Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan RI, dan lainnya.
Selain diskusi, juga diagendakan kunjungan lapangan ke beberapa tempat bersejarah dan kebudayaan di Kuningan. Sedangkan untuk lebih mengenal dan memahami lebih jauh, peserta tinggal (live in) di rumah-rumah warga Sunda Wiwitan.
Pewarta: Markus Saragih