JAKARTA,PGI.OR.ID-Stimulus ekonomi dan radikalisme, serta politik identitas menjadi fokus bahasan di hari kedua Lokakarya Potensi Radikalisme Agama dan Solusi Pencegahannya bagi Tanah Papua, yang diinisiasi oleh Biro Papua PGI dan Bidang KKC PGI, pada Selasa (12/10/2021).
Mengutip laporan UNDP (2017) Peneliti Konflik dan Perdamaian LIPI Dra. Sri Yanuari menjelaskan, faktor ekonomi menjadi pendorong yang signifikan yang dapat mengakibatkan radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme kekerasan. Sedangkan laporan Dixon (2009) statistik menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kekerasan dan ketimpangan pendapatan.
Menurutnya, untuk menekan pergerakan radikalisme akibat stimulus ekonomi, perlu dilakukan pemerataan infrastruktur pembangunan ekonomi dan sosial pada kawasan atau daerah yang selama ini menjadi basis tumbuh orang-orang yang terlibat jaringan terorisme. Selain itu, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (growth poll) pada daerah-daerah miskin melalui perbaikan akses, penyediaan infrastruktur, dasar, infrastruktur ekonomi dan pendidikan yang memadai.
Secara khusus mensoroti Papua, Sri Yanuari melihat, dengan kondisi ekonomi di daerah tersebut, ditambah adanya ketimpangan dan ketidakadilan, banyak kelompok pemuda diibaratkan sebagai kayu bakar yang mudah disulut atas nama apapun baik agama, maupun politik, kemudian bisa dibarengi tindakan radikal karena bergabung dengan kelompok radikal. Hal ini harus diwaspadai.
Sementara itu, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mensoroti politik identitas yang dapat menjadi ancaman bagi kemajemukan jika tidak dikelola dengan baik. “Kekhawatiran saya, akhirnya kita tidak lagi memilih orang yang berkualitas tapi pada identitas tertentu. Politik identitas memang diibaratkan pedang bermata dua. Di satu sisi kehadirannya menghadirkan kebaikan, tapi di sisi lain cenderung melanggar kelompok lain yang berada di luar. Sebab itu, bagaimana kita mengelola politik identitas yang bisa mewakili kelompok lain,” jelasnya.
Politik identitas, lanjut Pdt. Gomar, jika digabungkan dengan politisasi agama menjadi sangat rentan terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Politik identitas merupakan konsekuensi logis dari kemajemukan kita. “Namun persoalannya haruskah keberadaan identitas sebuah kelompok atau komunitas lain harus dinafikan keberadaannya atau harus diistemewakan. Ini harus dijawab dengan kritis dan kepala dingin,” ujarnya.
Sebab itu, menurutnya baiklah kita mengelola politik identitas dengan menghadirkan diri sebagai narasi perlawanan dari mereka yang terpinggirkan, dan menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas, tidak terjebak pada primordialisme, dan sektarianisme, serta kukuh pada perjuangan kesetaraan dan nilai-nilai universal.
Pewarta: Markus Saragih