JAKARTA,PGI.OR.ID-Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tentang pelaksanaan pendaftaran tanah, asistensi pencegahan dan penanganan permasalahan pertanahan aset PGI, anggota dan lembaga keumatan yang berafiliasi dengan PGI, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Senin (7/11/2022).
Penandatanganan MoU yang dilakukan oleh Menteri ATR/BPN Marsekal (purn) Hadi Tjahjanto, Ketum PGI Pdt. Gomar Gultom, dan Sekum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty ini, disaksikan seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN yang hadir, MPH-PGI, staf, serta pimpinan gereja.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menyampaikan apresiasi atas penandatanganan MoU tersebut, sekaligus apresiasi atas seratus hari kerja Kementrian ATR/BPN dalam rangka membenahi pertanahan nasional, yang dalam banyak hal masih diliputi oleh sengkarut tanah, dan ketidakpastian hukum. “Salah satu yang sangat saya apresiasi adalah digitalisasi proses sertifikasi. Hal ini di satu sisi sangat membantu percepatan pembuatan sertifikat dan dapat dilakukan dari mana saja, tetapi di sisi lain, ini yang sangat penting, juga dapat mengatasi tumpang tindih kepemilikan ganda,” katanya.
Lanjut Pdt. Gomar Gultom, MPH-PGI memahami sulitnya pembenahan terhadap sengkarut tanah ini, karena rupa-rupa sebab, antara lain praktik mafia tanah yang masih bergentayangan di berbagai daerah, pengelolaan tata ruang yang belum berkeadilan, distribusi tanah yang berkeadilan belum sepenuhnya berlangsung serta regulasi yang ditengarai tidak berpihak kepada rakyat.
Akibatnya, berbagai konflik terkait masalah kepemilikian tanah merebak dimana-mana, antara masayarakat lokal dengan pengusaha (tambang atau kebun) seperti misalnya kasus-kasus TPL di Sumatera Utara. Juga persoalan di NTT, Sulbar, Mandailing, dan daerah lain.
Menurutnya, selama ini dalam beberapa hal, PGI bekerja bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terutama ketika terjadi konflik-konflik agrarian, yang jumlahnya cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun.
“Konflik-konflik ini bukan saja bermasalah di sekitar pemilikan tanah, tapi ditengarai juga akan merusak lingkungan dan akan membuat masyarakat terserabut dari akarnya. Kualitas lingkungan pada gilirannya makin mengancam kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan kita telah diperhadapkan pada realita degradasi tanah, air dan udara, deforestasi atau penggundulan hutan, kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, peracunan alam di tingkat global, perubahan atmosfer dan degradasi masyarakat dan budaya,” jelas Ketum PGI.
Itulah sebabnya, Sidang MPL-PGI 2013 mendorong gereja-gereja untuk memiliki komitmen untuk ikut serta mengatasi masalah agraria dan krisis sumber daya alam. Hal ini merupakan muara dari proses yang sudah cukup panjang dan diperhadapkan dengan realitas sosial sebagaimana telah diuraikan. Apalagi ternyata, belakangan ini, beberapa warga desa, terutama korban-korban konflik agraria, merasa ditinggalkan oleh gereja, karena perjuanga mereka mempertahankan haknya tak mendapat perhatian gereja. “Padahal, mestinya, dimana gereja hadir, di sana hadir daya penebusan Kristus, yang lama bengkok diluruskan, yang tidak adil menjadi adil dan yang lemah diberdayakan. Dalam kaitan inilah kami sangat menyambut gembira penanda-tanganan ini. Tentu ini tidak ujug-ujug tiba begitu saja,” ujarnya.
Lebih jauh dijelaskan, memang terlihat komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menata tata ruang pertanahan kita ke arah yang lebih berkeadilan. Hal ini tampak misalnya semakin diakuinya hak-hak masyarakat adat dalam kepemilikan tanah, yang sebelumnya tidak memungkinkan. “Kami juga menyaksikan proses sertifikasi tanah yang kini telah mencapai 80 jutaan bidang tanah, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia. Kita sama-sama mengetahui, sebelum Presiden Jokowi hanya 46 juta yang tersertifikat. Semoga program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagaimana Inpres 2/2018 diteruskan, agar pensertifikatan ini makin luas,” tegasnya.
Lanjut Pdt. Gomar Gultom, sepengetahuannya redistribusi tanah yang sudah sejak 1960 diamanatkan oleh UU Pokok Agraria, barulah untuk pertama sekalai dilakukan pada penghujung 1986, dengan dikembalikannya 13.122 hektare Kawasan hutan adat kepada Sembilan masyarakat hukum adat, yang sebelumnya merupakan bagian dari konsesi hutan industri.
Sementara itu, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto usai penandatanganan MoU menegaskan, apa yang telah dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN dengan PGI bukan hanya sekadar seremonial semata. Melaluinya Permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait pertanahan akan segera diselesaikan tanpa adanya diskriminasi.
“Indonesia negara yang sangat luas, namun hampir seluruh wilayah kita tidak ada yang tidak bermasalah dengan hak atas tanah bagi rakyat, maupun hak atas tanah bagi institusi. Sebab itu, kami memiliki waktu 2 tahun, hingga 2024 untuk menyelesaikannya,” jelasnya.
Dia menambahkan, ada 160 juta bidang tanah yang akan disertifikasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat ini sudah 140 juta bidang tanah yang selesai disertifikasi. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan UU Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pada kesempatan itu, Menteri ATR/BPN juga mendengarkan apa yang disampaikan oleh perwakilan gereja-gereja, terkait persoalan yang dialami terkait pertanahan. Dia pun menegaskan akan membantu menyelesaikannya, asalkan telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku.
Pewarta: Markus Saragih