Oleh: Pdt. Jacky Manuputty
Pembantaian warga oleh kelompok teroris MIT di daerah Poso, Sulteng selalu berulang dengan cara yang sadis. Pada akhir tahun 2020 kita dikejutkan dengan pembantaian 4 warga di daerah Lewonu, Palu, tak berselang lama, pada 11 Mei 2021 peristiwa serupa berulang lagi. 4 warga Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Poso kembali dibantai dengan cara barbar.
Saat mengunjungi Desa Kalemago kemarin, narasi yang sama tetap terdengar, belum berubah ketika terakhir Pdt. Jimmy Sormin dari PGI mengunjungi mengunjungi warga Lewonu saat terjadinya peristiwa pembunuhan akhir tahun lalu. “Kami sudah capai dan kecewa” kata salah seorang warga yang saya jumpai.
Tentu beralasan kekecewaan mereka kepada pemerintah dan aparat keamanan yang seakan tak berdaya menuntaskan masalah keamanan di kawasan itu. berulangkali digelar operasi keamanan berskala besar oleh satgas yang dibentuk pemerintah. Beberapa gebong teroris tertangkap, tetapi lainnya muncul lagi. Pilihan korban tak pandang latar belakang agama. Permintaan sampai kecaman sudah berulang kali disampaikan oleh tokoh lintas agama Kabupaten Poso, namun tak banyak merubah situasi. Pagi ini sejumlah tokoh lintas agama kabupaten Poso kembali mendatangi DPRD Sulawesi Tengah di Palu untuk meminta para wakil rakyat mendesak pemerintah menuntaskan masalah keamanan di wilayah mereka. Masyarakat sudah capai hidup di dalam kondisi teror yang tak berujung.
Kekecewaan warga terungkap dalam pertemuan kemarin di balai Desa Kalemago, ‘ijinkan kami mempersenjatai diri untuk membela hak hidup kami bila aparat keamanan tak lagi mampu. Singkirkan dulu pertimbangan HAM terhadap teroris’ kata salah seorang warga yang kehilangan adiknya dalam peristiwa pembantaian 11 Mei lalu. Seorang ibu berdiri dan dengan lirih mengatakan ‘bantulah pendidikan anak-anak kami, karena kami tak bisa lagi berkebun untuk membiayai keluarga kami’.
Dalam peristiwa terakhir, empat orang warga mereka dibantai teroris ketika sedang mengelola kebun mereka di bebukitan yang berjarak kurang lebih 4 km dari desa mereka. Seorang ibu pendeta dari jemaat setempat membisiki beta saat memberikan sedikit bantuan kepada keluarga korban, ‘sesungguhnya mereka merasa malu menerima bantuan. Mereka adalah pekerja keras, dan dalam budaya mereka menerima bantuan tanpa bekerja merupakan sesuatu yang memalukan. Mereka hanya menginginkan rasa aman ketika berkebun.’
Tak mudah menyatakan empati dalam situasi seperti ini. Semua kata bagi saya terasa sebagai basa-basi yang hambar, sekalipun mereka senang mengetahui bahwa banyak orang turut marah dan menaruh hati serta doa bagi mereka. Sekalipun telah kecewa, mereka tetap menaruh harapan pada pemerintah dan aparat keamanan untuk menuntaskan kelompok teroris ini. ‘Kami ingin Pak Jokowi berkunjung kesini untuk melihat kondisi kami’, kata seorang bapak lain. Miris mendengar harapan yang tulus di tengah kekecewaan mereka yang dalam.
Bersama mereka kami berdoa, bernyanyi bersama, dan mendorong diperkuatnya spirit penyintas, sambil mencoba meyakinkan untuk terus membantu membesarkan resonansi harapan mereka. ’jangan pernah berhenti berdoa karena nafas harapan kita ada pada doa’, kata seorang pendeta lainnya yang menyertai kunjungan kami. Saya turut mengamini karena doa adalah pilar yang kuat untuk menopang spirit penyintas. ‘Saya tahu tidak mudah bagi saudara-saudara untuk mengampuni, tetapi tak mustahil kita melakukannya. Karenanya mari kita terus berdoa untuk hati kita, juga mendoakan para teroris dan keluarga mereka. Percayalah bahwa Tuhan turut menanggung air mata dan kesedihan kita’, ungkap saya menguatkan keluarga-keluarga korban.
Sebelum meninggalkan mereka saya sempat berbisik pada seorang ibu yang suaminya dibantai, ‘apakah ibu mendendam?’ Dengan lirih ia menjawab, ‘saya tidak dendam, itu sudah ajal’. Saat pertanyaan lain saya ajukan ‘apakah ibu bersedia mengampuni?’ Ibu tua itu terdiam sejenak sebelum menjawab dengan kalimat yang tersekat di kerongkongannya, ‘saya mengampuni’. Saya tahu, sungguh tak gampang mengampuni bagi seorang ibu dengan empat anak yang kehilangan pilar keluarganya. Pengampunan memang berat dan butuh waktu, tetapi tak mustahil melakukannya.
Penulis, Sekretaris Umum PGI