Oleh: Pdt Rudy Rahabeat
Saya hendak mengawali refleksi ini dengan mengutip secuil buah refleksi 72 tahun PGI dari Ketum PGI, Pdt Gomar Gultom sbb: “Sebagai realitas sosial, gereja menyejarah dengan tradisi, ajaran, bahasa, suku dan adat istiadat yang ikut mempengaruhi keberadaannya. Itu semua memunculkan keragaman gereja, yang tentu memperkaya kehadiran gereja di muka bumi ini. Sayangnya, dalam perjalanan sejarahnya, keragaman itu kurang dirayakan dan disyukuri sebagai berkat yang memperkaya malah cenderung menciptakan keterpisahan satu sama lain. Masing-masing gereja membangun tembok yang bukan saja memisahkan dirinya dengan gereja lain, malah juga memisahkan dirinya dengan realitas sosial yang mengitarinya”
Kutipan ini hendak menjelaskan dua hal dari judul di atas dan satu hal lainnya ada pada bagian akhir refleksi pak Gomar. Dua hal itu adalah turbulensi dan stagnasi. Ibarat penerbangan di angkasa, pesawat gereja mengalami goncangan karena angin atau awan, tantangan internal dan eksternal. Goncangan ini tentu membuat tidak nyaman, dan memicu kepanikan dan rasa takut bahkan putus asa, seakan-akan pesawat akan kena musibah dan mengancam keselamatan para penumpang.
Namun, pada sisi lain, dapat menjadi momen kreatif dimana penumpang makin dekat dengan Tuhan dan saling solider di tengah ancaman bahaya.
Belajar dari gereja mula-mula dan gereja masa kini sebagaimana dipotret pak Gomar, terlihat adanya kontras yang mencolok. Gereja mula-mula sebagaimana digambarkan dalam KPR 2 justru solid dan kompak, sehati dan sepikir untuk kemasalahan bersama (bandingkan tema HUT 72 PGI). Sebaliknya, jemaat atau gereja-gereja masa kini makin egois, hedonis dan kapitalis (bukan komunis, dalam arti positif).
Diagnosa kritis terhadap kondisi gereja masa kini adalah kondisi stagnasi alias kemacetan. Gereja mestinya dinamis dan progresif, malah mengalami kemacetan di sana sini. Ibarat mobil yang mestinya makin bergerak cepat dan lincah, justru mogok dan atau berjalan lambat. Stagnasi itu makin parah ketika bukan hanya terkait soal-soal hal-hal teknis-manajemen tetapi kemacetan pada tataran gagasan dan pemikiran. Ide-ide visioner dan subtantif makin redup diganti slogan-slogan dan status-status di media sosial yang hanya mengejar like and subsribe. Terjadi banalitas/pendangkalan bahkan kemunduran pemikiran. Kita lalu mencoba menggali ke masa lalu, misalnya menggali kembali pikiran-pikiran teologi publik, seperti terbitan buku yang berisikan pemikiran Eka Darmaputera, dll.
Langkah ini tentu tidak salah, tapi menurut saya tidak cukup. Kita butuh transformasi dan terobosan. Kita tentu tidak bisa mengkopi gaya hidup jemaaat mula-mula seperti tergambar dalam KPR 2. Salah satu alasan mendasarnya karena basis sosial budayanya telah mengalami perubahan yang revolusioner. Jemaat mula-mula merupakan jemaat sederhana, sedangkan jemaat masa kini adalah jemaat yang kompleks. Jemaat perdana tidak ada gadget dan internet yang karenanya membuat orang makin selfish. Jemaat perdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst.
Dalam kondisi turbulensi dan stagnasi itu maka kita perlu transformasi. Dan momen Pentakosta dapat menjadi energi terbarukan untuk mendorong transformasi itu. Dengan begitu, daya dorong transformasi bukan semata karena kekuatan aktor dan struktur tetapi utamanya adalah daya dorong Roh Kudus. Kepercayaan kepada Roh dan karya Roh menjadi modal awal untuk proyek transformasi itu. Di sini kita bergerak dari kenosis menuju pleroma, dari pengosongan diri menuju kepenuhan hidup. Kita merendahkan diri dihadapan Roh Allah, dan membiarkan Roh itu merasuki hidup kita, dan Roh itu terus berkarya menuju kepenuhan hidup (pleroma). Proses ini yang saya maksudkan dengan transformasi. Dan transformasi itu berkaitan erat dengan perubahan cara berpikir dan cara bertindak tentang gereja dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang berubah.
Dalam kaitan ini saya hendak mengakhiri refleksi ini dengan mengutip pandangan Sekum PGI di hari Pentakosta kemarin sbb: “Gereja menerima pencurahan Roh Kudus bukan untuk memperkaya diri dalam kesalehan spiritual yang bersifat pribadi, tetapi harus menggerakannya pada tanggungjawab sosial yang menyatakan bahwa ia telah mengambil bagian dalam karya keselamatan Yesus. Jika karena kepenuhan Roh Kudus gereja dipanggil untuk menderita karena kesetiaannya pada kebenaran, maka ia akan menunjukan kepada dunia bahwa pengetahuannya tentang keselamatan telah menjadi lengkap”.
Marilah kita menggunakan momentum Pentakosta ini bukan untuk menghindari turbulensi atau menafikan adanya stagnasi. Turbulensi akan tetap ada sepanjang sejarah. Demikian pula stagnasi akan menyertai ziarah kita di bumi ini. Tetapi tugas kita saat ini adalah melakukan transformasi secara berkelanjutan dengan tetap mengandalkan Roh Kudus yang penuh kuasa itu. Roh yang memampukan gereja untuk terus bersaksi dan melayani kapan dan dimana saja dalam bingkai sejarah keselamatan Allah trinitas. Bukankah peristiwa Pentakosta telah membuat gereja ada dan tetap bermakna hingga saat ini bukan?
Selamat merayakan Pentakosta. Amin
Penulis, Wasekum Sinode GPM