JAKARTA,PGI.OR.ID-Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bersama Universitas Kristen Indonesia (UKI) menggelar sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentag Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) lewat seminar nasional bertajuk Proteksi Diri dari Predator Seksual, di Graha William Soerjajaya, Kampus UKI, Cawang, Jakarta, pada Jumat (27/1/2023).
Seminar diikuti jajaran DPN Peradi dan civitas akademika UKI Jakarta, mahasiswa UKI serta siswa SMP dan SMA atau sederajat, serta pihak lainnya secara luring dan daring.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi Otto Hasibuan menuturkan, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) banyak hal yang harus disosialisasikan, termasuk ekses dari berlakunya UU tersebut.
Lebih jaub dijelaskan Otto, dalam menangani kekerasan seksual, juga harus memperhatikan korban. Menurutnya anggapan bahwa negara tidak perlu mencampuri penyelesaian persoalan kekerasan seksual karena harus diselesaikan antar-individu adalah keliru karena UUD menyatakan melindungi hak asasi manusia. “Hak asasi manusia harus diproteksi oleh negara dan negara harus hadir, sehingga seminar ini sangat penting sekali,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor UKI Dr. Dhaniswara K. Raharjo menyampaikan, salah satu indikator kekerasan seksual adalah adanya pemaksaan. Menurutnya, baik perempuan atau laki-laki harus berani melawan. “Jadi kalau merasa tidak nyaman, tentu harus berani menyatakan tidak dan melaporkan kepada pihak yang berwenang,” katanya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan kerjasama atau kolaborasi Peradi dan UKI tersebut sangat positif dalam mensosialisasikan UU TPKS dan mencegah tindak pidana tersebut. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak merukapan pelanggaran HAM yang harus dihapuskan,” katanya.
Sesuai hasil survey pengalaman hidup perempuan nasional pada 2021, jelas Menteri PPPA, menunjukkan kekerwsan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya masih dialami oleh sekitar 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun.
Sedangkan berdarkan hasil survey nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2021 yakni 4 dari 100 anak laki-laki usia 13-17 tahun di perkotaan, pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk kontak maupun non-kontak di sepanjang hidupnya. Sementara di pedesaan, prevalensinya sebanyak 3-100 anak laki-laki. “Bagi anak perempuan yang tinggal, baik di perkotaan bahkan pedesaan, prevalensinya bahkan dua kali lipanya anak laki-laki, yaitu 8 dari 100,” jelasnyanya.
Menurut Bintang, angka itu merupakan fenomena gunung es, yakni jumlah korban dan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi dapiada yang dilaporkan. “Keadaan ini harus menjadi perhatian semua, karena dampak yang ditimbulkan kepada korban mengakibatkan penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial” tandasnya.
Lahirnya UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS, menurutnya, merupakan suatu bukti bahwa negara sangat berupaya melindungi rakyatnya. Dia berharap semua mengawal implementasi UU tersebut demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari tindak kekerasan seksual.
Pewarta: Markus Saragih