TIGA RAS,PGI.OR.ID-Dua puluh delapan (28) peserta berasal dari berbagai tempat dan denominasi gereja, di antaranya GKPS, GBKP, HKI dan HKBP bersama dengan United Evangelical Mission (UEM), mengikuti Workshop Ekologi dan Keberlanjutan, yang berlangsung selama dua hari (17-18/7/2023) di Tiga Ras, Sumatera Utara.
Lokakarya dilaksanakan di tengah berbagai tantangan: terpuruknya perekonomian masyarakat akibat gagal panen, perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, ahli fungsi hutan yang menyebabkan migrasi hewan ke daerah penduduk di Tambun Raya dan sekitarnya yang menghancurkan ladang-ladang. St. Charles Sidabutar mengatakan, “Dua hektar tanaman jagung kami habis dimakan oleh kera.” Bahkan persoalan-persoalan ekologi dan sosial ini dirasakan langsung lewat perkunjungan peserta ke PT. Allegrindo, PT. Japfa dan Perkampungan Salbe.
Diawali paparan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan, M.Si, yang membidangi lingkungan tentang Corporate Social Responsibility & Peran Gereja Dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat.
Menurut Abetnego kurangnya pemahaman masyarakat tentang CSR menyebabkan pemanfaatan CSR masih minim. Pemahaman tersebut sering sebatas bantuan bukan pemberdayaan. Bapak Abetnego mengajak gereja berkolaborasi dengan pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat, karena itu penting untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan pikiran yang kritis (critical thinking) agar posisi gereja sebagai mitra bukan penerima bantuan.
Pemaparan berikutnya oleh Pdt. Dr. Jenny Rossy Purba, Kepala Departemen Pelayanan GKPS, tentang Tanggung Jawab Gereja dan Etika Bisnis, mengajak gereja untuk tidak melihat pelaku ekonomi sebagai lawan melainkan mitra untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG). Gereja adalah gereja yang “go-between”, yang menjembatani dan memediasi berbagai pihak. Sapangambei manoktok hitei dalam bahasa Simalungun.
Narasumber ketiga, Pdt. Aman Saud Purba, S.Th, MA menekankan bahwa gereja perlu mengubah paradigma pembangunan manusia bukan pembangunan fisik, sehingga advokasi gereja terhadap CSR perusahaan menjadi tepat guna.
Terkait persoalan yang terjadi di tengah masyarakat Tiga Runggu, Tiga Ras, Tambun Raya dan Sipolha, peserta workshop mengeluarkan pernyataan bersama, yaitu pertama, menghimbau seluruh perusahaan yang ada di sekitar Danau Toba yaitu PT. Allegrindo, PT. Suri Tani Pemuka/Japfa, PT. Toba Pulp Lestari (TPL) agar pengelolaan limbah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia demi kelestarian lingkungan dan mendukung Kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi wisata unggulan
Kedua, menghimbau perusahaan supaya CSR yang diberikan kepada masyarakat penggunaannya tepat guna dengan melibatkan seluruh stakeholder, termasuk memberi kemudahan akses terhadap informasi CSR perusahaan yang transparan dan akuntabel.
Ketiga, menghimbau pemerintah untuk melakukan fungsinya terhadap masyarakat yaitu mengayomi dan memberdayakan masyarakat, dan fungsinya terhadap perusahaan untuk memonitor operasional perusahaan dan pelaksanaan regulasi yang mengikat CSR atau Tanggung Jawab Sosial sebagai sebuah kewajiban bagi Perusahaan yang tertuang di dalam UU No. 25 Tahun 2007, UU No.40 Tahun 2007, PP No. 47 Tahun 2012, termasuk PP 38 Tahun 2015.
Keempat, menghimbau agar PT. Toba Pulp Lestari (TPL) melaksanakan keputusan yang tertuang di dalam Nota Kesepakatan (MoU) antara TPL dan masyarakat Tambun Raya-Sipolha tertanggal 11 Agustus 2022.
Kelima, menghimbau Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indomesia untuk meninjau ulang pemberian izin kepada PT TPL tentang pengalihan fungsi hutan yang menjadi hutan tanaman industry di sekitar Tambun Raya-Sipolha.
Keenam, menghimbau Pimpinan-Pimpinan Gereja di Sumatera Utara, PGI, UEM, KN LWF untuk menyuarakan keadilan dan mendukung pelaksanaan advokasi gereja dan masyarakat.
Pewarta: Irma Simanjuntak