YOGYAKARTA,PGI.OR.ID-Usai berhasil mendiseminasikan hasil riset PGI-ICRS untuk isu dinamika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di kalangan generasi Z pada platform digital, PGI-ICRS kembali menyampaikan kepada publik hasil riset dengan topik berbeda. Topik kali ini adalah sejarah pergulatan kebebasan dan kerukunan di Indonesia. Hasil riset ini didiseminasikan melalui seminar yang diadakan di University Club Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Kamis (17/5/2023).
Seminar ini dimoderatori oleh Pdt. Jimmy Sormin, dan menghadirkan para peneliti, antara lain Trisno Sutanto, Zainal Abidin Bagir, Asfinawati, Suhadi Cholil, Maufur, dan Ihsan Ali Fauzi. Hasil penelitian ini ditanggapi oleh Robert Hefner (Boston University) dan Diah Kusumaningrum (Universitas Gadjah Mada). Sementara peserta seminar yang hadir di lokasi kegiatan adalah para undangan yang berasal dari beragam unsur, seperti akademisi/peneliti sosial, aktivis, pemerintah, dan tokoh agama. Sementara secara online, PGI-ICRS hanya memfasilitasi live streaming melalui kanal Youtube Yakoma PGI.
Penelitian yang melandasi buku ini dimulai tak lama setelah beberapa anggota tim penelitinya menerbitkan buku yang berjudul Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama (2022). Setelah penerbitan buku itu, ada beberapa pertanyaan lanjutan yang mencuat di antara tim peneliti. Dalam buku itu kami melihat setidaknya ada tiga paradigma pengelolaan keagamaan yang berpusat pada ide-ide berbeda: kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), kerukunan (umat) beragama (KUB), dan yang paling akhir adalah moderasi beragama (MB).
Dua yang terakhir sebetulnya tidak dapat dikatakan saling bersaing, karena dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, misalnya dalam RPJMN 2020-2024, MB disebut sebagai upaya strategis dalam rangka ”Penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama”; sementara kebebasan beragama tidak muncul dalam dokumen itu.
Ini menunjukkan betapa sentralnya paradigma kerukunan umat beragama dan betapa kuatnya ia bertahan dalam politik agama Indonesia. Padahal, di sisi lain, istilah itu secara eksplisit tidak pernah muncul dalam Konstitusi kita, sejak 1945 hingga hari ini, setelah Indonesia melalui beberapa periode sejarah yang penting, dan beberapa upaya perubahan konstitusi.
Bakal buku dari penelitian ini terutama dimotivasi oleh pertanyaan tersebut: Mengapa ide kerukunan beragama bertahan dan tampak berakar kuat sebagai prinsip normatif utama dalam tata kelola keagamaan di Indonesia? Dan, sebaliknya, mengapa gagasan KBB kurang mendapat perhatian, atau bahkan sering dituduh sebagai “pengaruh Barat yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa”? Padahal, setelah Amandemen Konstitusi di masa reformasi, jaminan konstitusional KBB sangat kuat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28E UUD 1945.
Pertanyaan lanjutannya adalah: Apakah ada ketegangan antara kedua ide itu, yakni antara paradigma KBB dengan KUB? Apakah ide kebebasan dan kerukunan menempati posisi yang berbeda dalam tata kelola keagamaan kita? Ataukah keduanya bersaing? Demikian pula dengan kebebasan: Bagaimana ia muncul dalam debat-debat di Indonesia? Dan, akhirnya, bagaimana kaitan antara ide dan kebijakan terkait kerukunan dan kebebasan? Jika ada ketegangan, dapatkah dibayangkan adanya juga semacam konvergensi di masa depan?
Tim peneliti yang dibentuk berdasarkan kerja sama antara PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dengan ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), tidak berambisi menjawab semua pertanyaan itu dengan memuaskan, namun setidaknya ingin melakukan penjajakan untuk membedah rangkaian problematik di atas. Pelacakan dilakukan sebagian besarnya dengan melihat ke belakang, memahami debat-debat posisi agama dalam dalam perumusan cita-cita bangsa Indonesia, sejak masa awal proses kemerdekaan pada tahun 1945, hingga kini. Pelacakan dilakukan dengan melihat bagaimana kedua gagasan tadi muncul dalam diskursus negara melalui dokumen-dokumen resmi, entah dalam bentuk perdebatan Konstitusi yang berulang kali terjadi, maupun dalam praktik kebijakan, peraturan dan putusan peradilan.
Satu catatan penting perlu disebut di awal. Para peneliti meyakini, “kerukunan” (atau bisa juga disebut “harmoni”) merupakan konsekuensi tak terelakkan bagi suatu masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, namun bercita-cita untuk dapat hidup bersama di atas landasan norma kesetaraan dan keadilan. Dan sesungguhnya kita masih dapat melihat praktik-praktik “kerukunan” dalam masyarakat itu di banyak tempat di pelosok Indonesia. Namun problem utama yang didedah dalam penelitian ini bukan pada praktik “kerukunan” pada ranah masyarakat itu. Fokus kajian ini adalah upaya-upaya negara untuk membentuk kerukunan. Di titik inilah upaya membangun “kerukunan” dapat berada dalam ketegangan dengan “kebebasan”.
Buku yang berangkat dari hasil penelitian ini akan dipublikasikan dalam beberapa bulan ke depan melalui salah satu penerbit nasional.
Pewarta: Markus Saragih