JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bekerja sama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, mendiseminasikan hasil penelitian program nasional Moderasi Beragama, pada Jumat (25/2/2022).
Penelitian PGI dan ICRS UGM disusun oleh Trisno S Sutanto, Suhadi Cholil, Woro Wahyuningtyas, dan Danial Sutami Putra. Model penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan pembacaan kritis terhadap buku babon Moderasi Beragama (MB), dan dokumen Roadmap yang dibuat oleh Pokja MB Kemenag RI.
Seperti disampaikan Trisno Sutanto, hasil penelitian PGI dan ICRS UGM menyimpulkan, diskursus moderasi beragama muncul sebagai upaya pemerintah menjawab tantangan terorisme dan berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama, karena itu Moderasi Beragama punya irisan sangat dekat dengan program “de-radikalisasi.“
Disimpulkan pula, bias terhadap kelompok Islam ini terlihat mulai dari kosakata yang dipakai, ranah problematis yang menjadi concern utama, maupun rangkaian program-program konkret yang disusun. Diskursus Moderasi beragama masih kurangnya perhatian pada kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Dokumen Roadmap yang dibuat oleh Pokja MB Kemenag sendiri berusaha memperbaiki rumusan awal itu, dan menempatkannya sebagai living document yang selalu perlu diperbarui agar mampu menjawab tantangan-tantangan kiwari yang terus berubah. “Terobosan Roadmap tersebut membuka peluang bagi partisipasi kritis dari berbagai kelompok yang memperjuangkan KBB, termasuk di dalamnya gereja-gereja yang bernaung di bawah PGI,” tandasnya.
Hasil penelitian PGI dan ICRS UGM juga menyimpulkan, diskursus Moderasi Beragama patut dihargai sebagai suatu “strategi kebudayaan” pemerintah di dalam menangani persoalan aksi terorisme yang kerap mengatasnamakan agama, maupun maraknya sikap dan pandangan keagamaan yang dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bersama masyarakat majemuk. Dokumen Roadmap menunjukkan, strategi kebudayaan itu seyogianya difokuskan pada pembaruan pendidikan dan pengembangan literacy keagamaan.
“Sebagai strategi kebudayaan, diskursus Moderasi Beragama seharusnya menjadikan jaminan konstitusional KBB serta norma-norma dan penegakan HAM sebagai landasan utamanya. Diskursus Moderasi Beragama dapat dihargai sebagai tekad pemerintah di dalam memperbaiki kualitas birokrasi (ASN) agar dapat memberi layanan publik yang lebih akuntabel, transparan, dan non-diskriminatif,” jelas Trisno.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, menurut Direktur Institute Dian/Interfidei Pdt Elga Sarapung yang menjadi pertanyaan penting adalah kapan gagasan baik, positif, kritis dengan segala teori/konsep tentang kerukunan, toleransi, penghargaaan terhadap perbedaan ini, dapat diimplementasikan dengan baik sehingga kelak dapat memberi perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan dan berbangsa.
“Paradigma agama penting untuk diluruskan. Agama sebagai institusi dan beragama sebagai sesuatu yang berkaitan hanya dengan soal-soal institusional. Sedangkan yang berkaitan dengan institusional adalah agama yang mementingkan kuantitas, fisik, dan material. Jadi, bukan agama yang mementingkan nilai-nilai substansial dari agama yakni kehidupan saling menghidupkan, yang mementingkan kualitas,” tuturnya.
Pdt. Elga Sarapung melihat, jika apa yang menjadi concern dari Moderasi Beragama tidak semata-mata hanya dalam rangka menghadapi berkembangnya aksi-aksi radikalisme bahkan terorisme, atau kekerasan atas nama agama, tetapi memperkuat dan melanggengkan persatuan hidup berbangsa dalam kebhinekaan, maka belajar dari pengalaman Indonesia selama berpuluh tahun, kiranya kepentingan birokrasi, miskinnya pengalaman berjumpa, berdialog dan berinteaksi dengan yang berbeda dari para birokrat, sempitnya pemikiran serta sifat ekslusif yang masih mungkin menjadi warna dari para birokrat, tidak menjadi hambatan bagi negara dan bangsa ini untuk maju mencapai perubahan positif demi kehidupan berbangsa.
Sedangkan penanggap lain, Dr. H. Wawan Djunaedi, MA, Kepala PKUB Kemenag RI menjelaskan, semangat Moderasi Beragama yang dicanangkan oleh pemerintah adalah dalam rangka mendekatkan semua komunitas agama, juga kelompok penghayat kepercayaan, termasuk melalui kebudayaan. “Karena Moderasi Beragama tidak menyasar kepada kelompok tertentu. Tetapi kepada mereka yang tidak anti kekerasan, tidak berwawasan kebangsaan, tidak adaptif terhadap Moderasi Beragama, juga kepada mereka yang berpotensi tidak moderat cara beragamanya,” kata Wawan.
Lebih jauh dijelaskan, salah satu strategi yang dilakukan pemerintah dalam rangka Moderasi Beragama yaitu melalui pendidikan. “Contoh pelatihan guru agama di Kendari yang kami laksanakan sekarang ini, standarnya kan setiap pelatihan menggunakan anggaran pendidikan, dalam hal ini anggaran Islam, tapi pesertanya tidak hanya guru agama Islam, agar Moderasi Beragama tidak pada tataran teori, tetapi para guru agama kita memiliki ruang perjumpaan dengan guru agama lain, karena guru juga ujung tombak,” ujarnya.
Selain itu, melalui pendidikan juga diharapkan terjadi pergeseran pemahaman dari seluruh ASN bahwa hak-hak konstitusi setiap warga negara harus dipenuhi. “Menteri Agama berharap seluruh ASN memiliki awareness untuk memenuhi hak-hak konstitusi warga negara, baik lintas agama maupun internal agama,” tandas Wawan.
Dia pun menegaskan pemerintah akan mengawal tata kelola kehidupan keagamaan ini melalui evaluasi, untuk mengetahui benih Moderasi Beragama yang telah disebar dapat kita semai.
Pewarta: Markus Saragih