JAKARTA, PGI.OR.Id – Transformasi RS PGI Cikini yang merupakan mandat gereja-gereja di Sidang MPL dan Sidang Raya terus bergulir. Sayangnya ada pihak-pihak yang keberatan, menyebarkan hoaks di berbagai media sosial, bahkan menggiringnya ke ranah hukum.
Dalam jumpa pers yang berlangsung secara virtual pada Senin (26/7), di Grha Oikoumene, Jakarta, Sekum PGI Pdt Jacklevyn Fritz Manuputty kembali menegaskan, bahwa seluruh kebijakan yang diambil PGI bersama yayasan, dilakukan lewat persidangan secara kolektif.
“Rencana BOT jauh hari sudah dibahas MPH PGI di Sidang Raya Tahun 2019 di Waingapu dan Sidang Raya mengamanatkan untuk dilakukan pengembangan RS Cikini dengan mengundang investor dengan mekanisme BOT dan MPH PGI telah membentuk tim negosiasi,” tegas Pdt. Jacky.
Sebagaimana ketahui, MPH-PGI, Yayasan Kesehatan (Yakes) RS PGI Cikini bersama PT Famon Awal Bros Sedaya atau Primaya Hospital Group, telah menandatangani kerjasama pada Jumat (25/6) di Grha Oikoumene PGI, Jakarta.
Investor hanya mengelola 1 hektare tanah untuk jangka waktu 30 tahun dan akan membangun di atasnya bangunan rumah sakit seluas 14,000 M2 dan bangunan parkir 4,000 M. Sementara sisa tanah seluas kurang lebih 4,5 Ha akan tetap dikelola oleh PGI dan Yakes PGI untuk menunjang dijalankannya visi dan misi PGI dan Yakes PGI.
Pengurus Yakes RS PGI Cikini Constant Ponggawa dalam jumpa pers tersebut menjelaskan, semula MPH-PGI bersama Yakes RS PGI Cikini telah melakukan pendekatan dan sosialisasi terkait BOT.
Namun, para oknum tetap membawa masalah ke ranah hukum dengan melaporkan ke pengadilan, hingga kemudian meminta bantuan pengacara Hotman Paris Hutapea. “Karena PGI terus diserang oknum-oknum melalui hoaks bahkan sampai membawa ke ranah hukum, pilihan terakhir PGI dan yayasan menunjuk pengacara,” ujar Constant.
Ditunjuk sebagai kuasa hukum, Hotman Paris menegaskan, pihak yang membuat pengaduan ke pengadilan terkait kerja sama build operate transfer (BOT) RS Cikini dengan Primaya Hospital Group tidak memiliki kapasitas atau legal standing.
Hotman mengatakan, tanah seluas 1 hektare yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga tetap milik PGI dan rumah sakit dikelola yayasan. Sementara para pengadu bukanlah pengurus PGI, dan pengurus yayasan. Posisi mereka hanya bekerja atau profesional di RS Cikini. “Yang mengadu ini bukan pegawai atau pengurus yayasan. Oleh karenanya oknum-oknum yang mengadu ini tak punya kapasitas atau legal standing,” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskan Hotman, kerja sama bentuk BOT dengan pihak ketiga dilakukan mengingat RS Cikini yang sudah berusia 123 tahun, peralatannya sudah sangat uzur dan diperkirakan terus mengalami kerugian.
“Sangat masuk akal apabila PGI dan yayasan mencari strategi baru, agar rumah sakit dari merugi menjadi untung. Sebaliknya, jika dibiarkan beroperasi dengan peralatan uzur justru akan memakan korban dan berpotensi malpraktek,” urainya.
Dengan BOT, sambungnya, tidak beralih kepemilikan, yayasan tetap pengelola. Akan ada kerja sama. Hak kepemilikan PGI sama sekali tidak berkurang. “Jadi yang melakukan pembohongan, baiknya tarik semua pelaporan. Kami akan teruskan, kalau tidak ditarik. Kami akan laporkan ke polisi atas berita-berita bohong yang disebarkan,” pungkasnya.
Pewarta : Markus