JAKARTA,PGI.OR.ID-PGI melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) secara hybrid dalam rangka mendapatkan masukan terkait Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), dengan menghadirkan narasumber Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek Anandito Aditomo, serta Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Ki Saur Panjaitan, pada Selasa (1/3/2022).
Pada kesempatan itu, Anandito mengungkapkan, pembentukan RUU Sisdiknas saat ini berada pada tahap perencanaan. Pelibatan publik pada tahap perencanaan telah mulai dilakukan dan akan terus diperluas. Masyarakat juga akan dilibatkan di tahap penyusunan dan pembahasan.
Lebih jauh dijelaskan, urgensi revisi UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) karena satu sistem pendidikan diatur dalam tiga undang-undang, yakni UU 20/2003 (Sisdiknas), UU 14/2005 (Guru dan Dosen), UU 12/2012 (Pendidikan Tinggi). Hal ini memunculkan potensi ketidakselarasan.
Selain memunculkan potensi ketidakselarasan, lanjut Anandito, beberapa pengaturan dalam undang-undang tersebut terlalu mengunci sehingga menimbulkan permasalahan dalam implementasinya, dan tidak dapat mengikuti perkembangan jaman, serta ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah materi UU Sisdiknas.
Sebab itu, menurut Anandito RUU Sisdiknas menawarkan perbaikan agar ketiga peraturan tersebut terintegrasi dalam satu uu, untuk melaksanakan amanah UUD 1945 tentang satu sistem pendidikan, lebih sederhana, dan tidak tumpang tindih. “Perbaikan yang juga ditawarkan yaitu agar dapat merespon perkembangan yang cepat, disusun lebih fleksibel, dan ruu yang sedang direncanakan sudah mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi terkait tiga UU yang diintegrasikan,” katanya.
Soal lain yang muncul dalam UU Sisdiknas diantaranya, tidak menyebutkan nilai Pancasila sebagai muatan wajib dalam kurikulum. Sehingga menurutnya perlu dilakukan perbaikan agar memperkuat karakter Pancasila, nasionalisme, dan budi pekerti, kurikulum wajib mencakup mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia.
Sementara itu, Ki Saur Panjaitan melihat, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian terkait pembentukan RUU Sisdiknas, semisal UUD 1945 Pasal 31, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pendidikan juga harus terkait dengan kebudayaan.
Saur juga mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa pengertian pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup dan tumbuh kembangnya jiwa rasa anak didik, agar dalam menjalani garis kodrat pribadinya serta dalam menghadapi pengaruh lingkungannya mendapat kemajuan hidup lahir batin.
Selain itu, sebagai usaha kebudayaan dan kemasyarakatan, maka tiap pelaksanaan pendidikan wajib memelihara dan mengembangkan garis hidup yang terdapat dalam tiap aliran kerohanian dan kemasyarakatan untuk mendapatkan kehalusan budi dan penghidupan menuju ke arah adab Kemanusiaan.
Menurutnya, adaptasi tentu diperlukan mengingat kita berada di dunia global dan konektivitas menjadi suatu keharusan. Namun demikian, kita secara tegas perlu meletakkan Pancasila sebagai dasar filosofi pendidikan untuk mencapai suatu tatanan kehidupan yang cerdas, baik secara secara politik-ekonomi maupun sosial-budaya. Pancasila tidak sekadar untuk dihafalkan, sebagaimana yang kita lakukan dan banggakan selama ini.
“Taman Siswa melihat dalam perjalanan terjadi penurunan. Dulu nasionalisme begitu tinggi, sekarang orang lebih banyak meminati sekolah berciri agama. Sebab itu, rasa nasionalisme ini yang harus terus digaungkan, termasuk dalam dunia pendidikan. Karena skill tidak memjamin, tetapi yang penting adalah pembentukan karakter,” tandas pengurus Perguruan Taman Siswa ini.
FGD yang dipandu Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI Pdt. Jimmy Sormin ini, diikuti MPH-PGI, pemerhati dan praktisi pendidikan, Pokja Pendidikan PGI, serta beberapa Sekretaris Eksekutif di lingkungan PGI.
Pewarta: Markus Saragih