Menjadi bagian dari situasi bencana pandemi Covid-19 ini, penulis setuju menyebut hal ini sebagai suatu badai (krisis) yang tiba-tiba melanda dunia saat sekarang ini. Di satu sisi, krisis ini dilihat sebagai ‘berkah’ karena beberapa orang bersyukur yakni dengan diliburkannya mereka dari tempat kerja atau sekolah memungkinkan mereka bisa berkumpul dengan keluarga mereka di rumah. Namun di sisi lain, dipantau lewat media televisi, jumlah penyebaran virus corona semakin meningkat dan meluas. Inilah yang meresahkan warga pada umumnya saat ini. Berbagai hal dapat terjadi, diantaranya terjadi stigmatisasi sosial dan ujaran-ujaran kebencian lewat media sosial. Sikap curiga pun walau hanya sedikit saja, ikut dirasakan ketika ada tamu yang berkunjung tiba-tiba ke rumah atau usai melakukan perjalanan dari luar daerah. Semua orang diwajibkan untuk mengisolasi diri masing-masing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, mengartikan stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.[1] Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi yang dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan. Stigma muncul karena masyarakat melihat ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi pada diri orang lain atau hal yang mereka lihat tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut atau yang seharusnya sehingga hal tersebut dapat berdampak pada penurunan rasa percaya diri, motivasi serta penarikan diri dari lingkungan sosial.[2] Inilah yang penulis maksudkan agar stigmatisasi sosial tidak lagi terjadi kepada siapapun yang ada dalam suatu masyarakat karena dampaknya akan sangat buruk bagi keberlangsungan hidup bersama. Begitupun dengan ujaran kebencian yang dimuat dalam media sosial, ada yang disebut jejak digital. Jejak digital dalam bentuk tulisan apapun dapat diakses oleh semua orang dan hal tersebut tidak hanya berdampak sekarang ini. Tetapi juga pada waktu yang akan datang, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus bangsa bisa saja mengakses jejak digital yang isinya tidak memberikan pengetahuan dan wawasan justru sebaliknya menyisakan trauma mendalam serta kerusakan moral dan spiritual. Oleh karena itu, penulis memberikan masukan untuk bagaimana menggunakan media sosial yang bijak dan bermanfaat.
Adapun dari bencana wabah ini terjadilah apa yang disebut stigmatisasi (cap) sosial yang cukup menyita perhatian bila diperbincangkan. Sebagian orang tentu merasa sedih dan kecewa karena terkucilkan dari lingkungannya sendiri apalagi oleh orang-orang di sekitarnya karena salah seorang anggota keluarga mereka dikira sebagai carrier Covid-19 hanya karena baru kembali usai melakukan perjalanan dari wilayah zona merah Covid-19. Seperti yang teralami oleh salah satu teman dari penulis beserta keluarganya di daerah tempat tinggal mereka. Sang ayah dari teman penulis tersebut harus melakukan perjalanan keluar daerah karena ada suatu tujuan yang penting yang menyangkut kehidupan keluarganya untuk bertahan hidup di masa pandemi ini. Setelah kembali ke kampung, belum selesai dilakukan pemeriksaan atau tes yang pasti untuk mengecek apakah tertular virus atau tidak, keluarga mereka sudah menuai kecaman dan sindiran dari sebagian warga lainnya tak terkecuali sanak saudara mereka yang lain yang secara tidak langsung telah mengucilkan satu keluarga tersebut yang tidak menerima kehadiran mereka. Kecaman dan sindiran tersebut antara lain bahwa mereka harus diusir dari lingkungan tempat tinggal mereka karena dianggap membahayakan keselamatan warga setempat serta larangan untuk tidak boleh bergaul dan bercengkerama dengan tetangga dan sanak saudara. Sungguh pedih dirasakan ketika diperlakukan demikian. Namun, demi kepentingan, keamanan dan kebaikan semua orang di daerah tersebut serta walaupun belum ada hasil tes dari pihak medis – yang pada akhirnya hasil yang keluar adalah negatif – keluarga yang terkucilkan itu mengisolasi diri ke kebun milik mereka yang letaknya lumayan jauh dari pemukiman warga. Tak ada sanak saudara yang mendukung dan menyemangati mereka dalam kondisi tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa mungkin juga sikap orang-orang tersebut bertindak demikian dikarenakan sebagai reaksi dari perasaan was-was akan bahaya virus yang akan menjangkit. Namun persoalannya ialah sebagai sesama saudara dan sebagai satu kesatuan dalam lingkup bermasyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, apakah tindakan orang-orang tersebut adalah tepat ? Seharusnya yang harus dilakukan adalah menghibur, menguatkan serta memberikan semangat kepada keluarga tersebut, bukan malah sebaliknya mengucilkan mereka. Jika di analisis, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan hal tersebut yakni pertama, terjadi kekacauan (Chaos). Karena ketakutan akan virus, orang-orang bisa saling curiga terhadap siapapun. Dalam situasi yang panik ini orang tidak berpikir panjang dan jernih sehingga egoisme pun dapat terjadi. Tidak ada saling pengertian bagi mereka yang diduga terinfeksi, karena untuk melindungi diri dari bahaya virus. Kedua, bisa jadi karena sosialisasi yang kurang mengenai apa, bagaimana dan seperti apa dampak virus ini sehingga menyebabkan orang-orang dapat salah paham terhadap orang lain yang belum dilakukan tes yang akurat apakah terjangkit atau tidak. Oleh karena itu terjadilah seperti yang muncul dalam stigmatisasi tersebut di atas. Jika sudah terjadi stigmatisasi, maka semua orang harus bertanggung jawab. Jika misalnya ada masyarakat yang juga belum mengerti tentang virus ini, bisa dari pihak kesehatan atau satuan petugas (SATGAS) Covid-19 yang menjelaskan. Jika ada jemaat yang belum mengerti seperti salah satu kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Pelayan Khusus yang menjelaskan kepada jemaat. Dengan demikian kerukunan dan kebersamaan tetap utuh dan terjaga.
Berikutnya tentang ujaran-ujaran kebencian lewat media sosial yang tidak kalah meresahkan di masa pandemi ini, khususnya yang dialamatkan kepada tenaga-tenaga kesehatan tetapi juga kepada pemerintah. Dilansir dari beberapa berita di media sosial yang penulis baca beberapa minggu terakhir ini, ada-ada saja orang yang tidak bertanggung jawab menggunakan akun media sosial untuk menghina dan menyebarkan tulisan-tulisan yang berisi ujaran kebencian terhadap tenaga-tenaga medis antara lain : mendoakan agar semakin banyak dokter dan perawat yang menjadi korban Covid-19[3], ada pula yang tidak segan menuliskan ajakan-ajakan untuk melukai para tenaga medis jika mereka tidak memberikan pelayanan yang prima kepada para pasien khusus di masa Pandemi. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Covid-19 adalah hoax dan mengajak untuk membakar masker dan membuang hand sanitizer.[4] Dari pernyataan-pernyataan tersebut, penulis hendak mengemukakan dua hal yakni pertama, ujaran-ujaran kebencian lewat media sosial tersebut adalah tindakan yang berusaha untuk memecahbelah kedamaian yang ada atau memprovokasi keadaan sekarang ini menjadi kacau karena berusaha mempengaruhi orang lain untuk setuju dan berbuat sebagaimana yang dituliskan di media sosial tersebut. Kedua, daripada melakukan hal-hal yang akan merugikan diri sendiri, lebih baik melakukan hal-hal yang bermanfaat seperti membuat kerajinan tangan, membuat kue atau aneka ragam jenis makanan yang dapat di jual secara online. Tidak hanya itu saja, mengingat kondisi yang dialami bangsa Indonesia sekarang ini, bisa dibuat konten-konten yang bermuatan edukasi seputar hidup tertib, yakni dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan : membuang sampah pada tempatnya, rajin membersihkan rumah – tempat tinggal – masing-masing, rajin bekerja dan mengeksplor kompetensi atau talenta yang dimiliki masing-masing orang serta bagaimana memanfaatkan waktu dengan maksimal khususnya bagi anak-anak muda bangsa. Bekerja sama untuk mendoakan dan menopang pemerintah dalam setiap program yang ada untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Itu jauh lebih berguna dan bermakna!
Penulis : Marselina Pangau