JAKARTA,PGI.OR.ID-Mengusung tema Menciptakan Keluarga Yang Aman, Kenali UU PPKS, serta sub tema Gereja dan Kekerasan Seksual, Biro Perempuan dan Anak (BPA) bersama Biro Pemuda dan Remaja (BPR) PGI menggelar talkshow dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2022, secara online dan onsite, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Jumat (25/11/2022).
Kampanye 16 HAKTP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan anak hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
“Gereja harus bertobat, karena dari segi wacana sudah sangat maju. Seingat saya di 1989 ada Dekade Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan, di 2000 ada dekade Gereja Mengatasi Kekerasan. Jadi kurang apa? WCC mengajak untuk mengatasi kekerasan berbasi gender. Tapi kalau mau jujur mengevaluasi, dimana gereja? Dari hitungan jari gak sampai sepuluh gereja yang secara sistematik dan holistik, setau saya baru GKP, GMIT, dan GKPS,” jelas anggota KPAI Pdt. Sylvana Apituley di acara tersebut.
Kecenderungan sekarang ini, lanjutnya, gereja melindungi dan membela pelaku, terlebih jika dia seorang pendeta. “Gereja malu, lalu penyelesiannya hanya dimutasikan, padahal bisa ada korban baru nantinya di tempat lain, sementara korban dibiarkan. Terlalu minim yang dilakukan gereja,” tandasnya.
Pdt. Sylvana melihat UU PPKS memberi mandat kepada kita untuk berani mengambil sikap mencegah, dan melawan kekerasan seksual yang terjadi. Sebab itu, Gereja harus memperkuat kapasitas dan sistemnya untuk memberikan pelayanan kepada korban kekerasan. “Saya berharap gereja bisa menjadi ruang alternatif dalam penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, juga anak,” tandasnya.
Hal senada juga disampaikan Wasekum PGI Pdt. Krise Anki Gosal. Menurutnya, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan telah lama digaungkan oleh gereja. Namun maju dalam level wacana tetapi tidak dalam tingkat implementasi.
“Memang ada hambatan-hambatan, selain dianggap tidak prioritas. Sehingga sangat sulit dan terkadang harus menabrak tembok. Sebab itu perlu sinergitas, perlu pertobatan untuk kembali pada panggilan asasi gereja, menjadi tempat pesemaian karakter berkeadaban, menjadi tempat pemulihan dan pencegahan serta menjadikan gereja rumah aman,” jelasnya.
Sementara itu, aktivis HAM Anton Pradjasto berharap agar masyarakat berani membawa pelaku kekerasan terhadap perempuan ke pengadilan. Hal ini sangat penting tidak hanya bagi masyarakat sendiri, tetapi juga jika dibiarkan maka pelaku tidak akan merasa bersalah. Selain itu, masyarakat juga harus berani mengawasi otoritas-otoritas, termasuk otoritas di lembaga keagamaan, agar tidak terjadi tindak kekerasan.
Pewarta: Markus Saragih