Sejak maret tahun lalu, kita semua sama-sama berjuang untuk ketenangan. Rasanya, energi kita setiap detiknya semakin berkurang untuk bisa menghidupi oranglain. Kita hanya bisa merawat diri dan orang-orang yang kita kasihi. Itupun bukan hal yang mudah. Disaat bersamaan, banyak informasi duka yang berdampak pada ketahanan psikologis kita. Baik dari stasiun televisi, surat kabar, sanak saudara, sampai group pada akun media sosial WhatShap, orang-orang baik meninggalkan kita satu per satu. Sialnya, mereka-mereka ini adalah orang-orang terkasih dan berbekas dalam posisi hidup kita sekarang ini.
Sejak pandemi, masalah menjadi semakin kompleks. Semua umat manusia dalam keadaan berjuang melawan virus covid-19 dan sebagian lainnya berjuang untuk di perlakukan sama di hadapan konstitusi negara. Dalam kondisi yang serba sulit, bentuk-bentuk pelanggaran terhadap agama berbeda dan berkeyakinan di negara kita masih saja menjadi persoalan yang belum terseleseikan. Sebagian kelompok agama masih merasa di hantui. Jauh dari kenyamanan, sementara, Indonesia sudah merdeka dari 1945. Namun, implementasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini masih di pertanyakan.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang sebenarnya ada di kepala para pelaku sehingga melakukan penyerangan terhadap berbeda iman dan berkeyakinan, khusus nya di Indonesia? Disaat kita semua dalam keadaan berusaha merawat diri dan orang-orang terkasih, fenomena tersebut masih saja terjadi dan tidak masuk pada akal sehat kita di tengah kondisi seperti ini. Tindakan seperti penyerangan, perusakan rumah ibadah, penyegelan, serta ancaman terhadap kelompok komunitas agama berbeda di tengah kondisi negeri kita sedang tidak baik-baik saja terus menghantui.
Pendeknya, masa periode kepemimpinan presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akan berakhir pada tahun 2024 mendatang. Namun, apakah pada sisa-sisa masa kepemimpinan itu benar-benar di maksimalkan untuk mengakhiri semua tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia? Sementara, beragam masalah pada periode sebelumnya belum juga terseleseikan. Dalam keadaan seperti itu kita di paksa untuk beradaptasi. kemudian, dalam proses kita yang tidak gampang untuk beradaptasi kita mendapatkan satu masalah yang justru semakin membuat kita berada dalam posisi titik terbawah.
Di Indonesia, emosi manusia paling dalam umat manusia adalah agama. Berdasarkan riset SETARA Institute for democracy and peace, lembaga LSM yang konsen pada penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan HAM serta penelusuran media memperlihatkan hasil temuan riset nya kepada publik bahwa, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di tengah masa pandemi covid-19 masih saja terjadi. Direktur peneliti SETARA Institute Halili Hasan mengatakan dalam periode kedua presiden jokowi-ma’ruf terdapat 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan: 168 tindakan berasal dari negara, 159 sisanya berasal dari non-negara.
Lalu, bagiamana bisa kita bertumpu kepada negara jika pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) ini salah satu pelakunya negara itu sendiri. padahal sudah jelas tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E Ayat (1), yang mengatakan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Meski demikian, kasus-kasus intoleransi di tengah pandemi masih terjadi diantaranya: sekelompok orang yang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di kabupaten bekasi pada 13 september, sekelompok warga msyarakat Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor pada 20 september, umat kristen di desa Ngastemi kabupaten mojokerto, dilarang melakukan peribadatan oleh sekelompok orang pada 21 september, serta larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di kabupaten nganjuk, jawa timur, pada 2 oktober. Kemudian pada september lalu, terjadi pelarangan pembangunan tempat rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Aceh Singgil. Sebuah aliansi damai (Forcidas) mengatakan proyek ini terkesan di hambat oleh pemerintah daerah.
Kita bisa sama-sama menelaah, di era modern sekarang ini, kita kebanjiran tanda dalam bentuk pesan politis, iklan, dan ikon yang sarat makna. Ketika setiap detiknya informasi di produksi oleh media, sialnya, kita tidak cukup mampu mengontrol dan mengelola informasi yang datang pada diri kita. Beberapa teman dan orang-orang yang saya jumpai, mereka lebih banyak mengamini begitu saja semua informasi yang datang tanpa berusaha untuk memfalidasi apakah informasi tersebut memang benar terjadi apa sekedar penggiringan opini dalam satu kepentingan.
Apalagi, jika informasi tersebut membawa-bawa agama di dalamnya. Seperti yang kita tahu, emosi terdalam umat manusia Indonesia adalah agama itu sendiri. Bisa jadi, pada akhirnya orang melakukan suatu tindakan tanpa mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka lakukan. Kita bisa sama-sama merefleksikan ketika semua media memberitakan kasus A akan memunculkan reaksi sppntan oleh pembacanya. Tiap-tiap individu mempunyai respon yang berbeda-beda. Malapetaka terjadi jika respon yang berbeda itu mengundang tindakan kolektif dalam suatu aksi yang jauh dari kata kemanusiaan dan cinta kasih.
Hingga sampai detik ini, semua orang terlahir sebagai teks. apa yang kita lakukan dan apa yang kita ucapkan mempunyai kecenderungan ke arah sana. Teks bisa mempengarui perilku manusia. Akan bisa menjadi potensi positif apabila bisa dimaksimalkan oleh anak muda di setiap komunitas beragama. Tujuanya, agar publik tahu tentang bagaimana sebenarnya komunitas beragama berbeda mnjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Aktivitas tersebut bisa dilakukan dengan pola intereksi. Bagaimana kemudian antar anak muda dari latar belakang komunitas agama berbeda dapat terhubung dan belajar.
Selanjutnya, sependek pengetahuan saya, informasi yang di produksi oleh anak muda beda agama di arahkan untuk mengimbangi informasi yang lebih ke arah intoleran. Sampai sekarang, dalam renungan pendek, saya masih mempertanyakan kenapa pemberitaan mengenai agama kepercayaan dan agama non-muslim hanya muncul ketika terjadi pembakaran rumah ibadah, pengeboman rumah beribadah, dan penyegelan rumah beribadah? Hal tersebut sangat disayangkan betul, setelah di lihat, hampir semua informasi di produksi oleh orang-orang di luar komunitas agama yang sedang mengalami. Sehingga vibrasinya pun tentu berbeda.
Semoga Tuhan selalu memberkati kita untuk terus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menarik kedalam, membentangkan kedepan, dan terus mencari relevansinya guna menghadapi masalah kekinian dan keakanan. Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu alternatif kita semua dapat terhubung. Merawat keberagaman dari berbeda latarbelakang anak muda yang melahirkan proses-proses kreatif. Sehingga, aktivitas tersebut tidak menjadikan anak muda terjebak dalam isu politik identitas. Melainkan bertumbuh, berkembang, untuk bertenu da belajar. Membagi sumberdaya, energi positif, dan saling menguatkan satu sama lain. Masa akhir pada tulisan ini, semoga kita bisa saling terhubung, belajar, dan bertumbuh bersama tanpa stigma. Apapun latar belakangnya, setiap orang mempunyai pengalaman dan kesempatan untuk diterima.
Penulis:
Ahmad Khasan Basri