JAKARTA,PGI.OR.ID-Ada beberapa pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diperdebat sehingga perlu disosialisasikan agar tidak menjadi persoalan di tengah masyarakat. Pemerintah pun telah melakukan sosialisasi di 20 provinsi, yang berakhir pada 4 Juni 2021 lalu.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Mencermati Rancangan KUHP Dalam Pembangunan Hukum Indonesia di Aula Grha Oikoumene, Jakarta, pada Kamis (11/8/2022).
“Partisipasi seluruh elemen masyarakat sangat perlu. Pemerintah terbuka terhadap masukan bagi perbaikan RKUHP dari berbagai elemen masyarakat, baik melalui diskusi publik maupun sosialisasi. Tentunya dari hasil sosialisasi ini pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformasi, dan memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversi berdasarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat, kementrian, dan lembaga terkait,” katanya,
Lebih jauh dijelaskan Prof. Edward Omar, ada 14 isu krusial yang menuai kontroversi. Keempatbelas pasal tersebut diantaranya terkait soal living law. Menurutnya, the living law dalam Pasal 2 RKUHP bahwa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2.
“Berlaku dalam tempat hukum itu hidup, tidak diatur dalam KUHP, dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab,” ungkapnya.
Dikatakan Wamen Kumham, pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana. Pidana pengganti disebutnya dapat juga berbentuk pidana ganti kerugian.
Selain itu, isu pidana mati yang dicantumkan di Pasal 11 RKUHP. Dijelaskan, adanya perbedaan antara KUHP dengan RKUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok dalam KUHP, sementara dalam RKUHP ditempatkan sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan demi mencegah tindak pidana. “Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu selama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup,” tuturnya.
Pidana mati bisa dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun bila memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 100 ayat 1 RKUHP yakni terdakwa menunjukkan penyesalan dan ada harapan untuk diperbaiki, peran terdakwa dalam perkara pidana tidak terlalu penting, atau ada alasan yang meringankan. Sementara mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101 yang berikutnya akan diatur lebih lanjut dalam UU tersendiri.
Demikian pula isu mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang dicantumkan dalam Pasal 218 RKUHP. Menurutnya, dalam RKUHP diatur penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden termasuk dalam delik aduan. Adapun pengaduan tersebut harus dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. “Dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum. Ini memang berbeda dengan yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Isu lain yaitu soal penodaan agama yang dicantumkan dalam Pasal 304 RKUHP. Wamen Kumham mengungkapkan, pemerintah melakukan reformulasi karena mempertimbangkan usulan masyarakat, sehingga ada tiga perbuatan yang diatur, yaitu melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; dan menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.
Diakhir paparannya, Edward kembali menegaskan, norma dalam RKUHP mencoba mengakomodasi seluruh kepentingan yang ada, dan mengembangkan berbagai masukan dari berbagai elemen masyarakat. Baik melalui dialog publik dan sosialisasi untuk melihat kekurangan-kekurangan yang ada.
Seminar Mencermati Rancangan KUHP Dalam Pembangunan Hukum Indonesia dilaksanakan oleh Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI), Pengurus Nasional Perkumpulan Senior (PNPS) GMKI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna), serta Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia. Kegiatan ini juga menghadirkan narasumber Prof. Dr. Jhon Pieris, SH, MS, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, SH, M. Hum, Dr. Jamin Ginting, SH, MH, dan Prof. Dr. Albertus Patty, MA.
Pewarta: Markus Saragih