Obituari : Pdt. Stephen Suleeman dan Suara Kepada yang Terbungkam
Senin (8/11) pagi tersiar kabar duka berpulangnya Pdt. Stephen Suleeman, M.A., Th.M lewat Instagram Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta. Dukacita seketika menyambar. Ada rasa kehilangan yang dalam bagi banyak teman yang mengenalnya.
Stephen Suleeman, lahir pada 17 Maret 1954, meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Ia tercatat sebagai dosen tetap yang mengajar Teologi dan Komunikasi serta Ilmu-ilmu Sosial, dan kepala unit pendidikan lapangan di STT Jakarta, sejak 1987. Sebagai pendeta, ia aktif melakukan pelayanan di GKI Gading Indah. Selain itu sejak 2008, Almarhum juga tercatat sebagai salah satu pendiri Wikimedia Indonesia. Menjadi anggota dewan pengawas Wikimedia Indonesia di tahun 2011-2012.
Almarhum punya banyak sahabat karena kepribadiannya yang hangat dan kepeduliannya terhadap kelompok marjinal. Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty di laman Facebooknya menulis tentang almarhum ketika memasuki emeritus April 2019 silam.
Bung Steve Suleeman (begitu beta memanggilnya) adalah sahabat bagi banyak orang. Bawaannya tenang, seringkali kocak, dan melebur dengan siapa saja. Karakternya mengingatkan beta pada almarhum ayahnya, Pdt. Clement Suleeman, seorang dosen dan pendamping mahasiswa yang menjadi favorit mahasiswa STT Jakarta pada era 80-an, ketika beta bersekolah di situ.
Dalam tulisan itu, digambarkan Pdt. Jacky bahwa Almarhum dan ayahnya menjadi contoh pelayan yang secara total memberi diri kepada mereka yang dilayani. “Tak mengherankan jika ratusan orang menghadiri ibadah syukur emeritasi bung Steve waktu itu. Mereka datang dari berbagai latar belakang dan tempat karena mereka mengasihinya. Selain warga jemaat dan komunitas pendeta, juga ada teman-teman LGBT juga hadir kala itu, bahkan sahabat karib Bung Steve yang bergelut pada isu advokasi LGBT, yaitu Ustadz Aan Anshori, turut hadir jauh-jauh dari Jombang untuk menghadiri acara emeritasi.”
Pelayanan almarhum pada kaum terpinggirkan digambarkan dalam tulisan itu cukup terang dan menjelaskan apa yang dilakukannya.
“Memberikan Suara Kepada Yang Terbungkam,” adalah tema ibadah emeritasi Bung Steve. Pilihan tema ini membingkai dengan tepat totalitas dan dedikasi Bung Steve bagi ‘kaum terbungkam.’ Pilihan pengabdian yang sering membawanya menjalani jalan-jalan sunyi, terutama ketika komunitas yang didampinginya merupakan orang-orang yang keberadaannya sering ditolak, termasuk oleh kalangan gereja. Kaum LGBT adalah kelompok yang telah merengkuh empati dan dedikasi Bung Steve sebagai pelayan selama sekian tahun terakhir. Dalam pendampingan terhadap mereka, Bung Steve kerap dinista namun ia menerimanya dengan lapang dada.
Rupanya makna Amsal 31: 8-9 yang diuraikan melalui khotbah dialog antara Pdt. Robert Setyo dan Bung Steve merupakan salah satu pilar sandaran Bung Steve ketika mengelola spiritualitas pembelaannya bagi komunitas terbungkam.
“Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk semua orang yang merana (31:8) Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka (31:9). Kedua ayat ini tak mengindikasikan polarisasi gender, agama, ataupun suku bangsa. Karenanya, pembelaan terhadap yang terkucilkan adalah panggilan advokasi kemanusiaan yang lintas batas seutuhnya. “Yesus menjadi teman untuk yang lemah dan terkucilkan,” kata Bung Steve. “Allah juga dalam perjanjian pertama mengambil sikap berada bersama yang gagal dan berdosa”, ungkap Pdt. Robert Setyo dalam penggalan dialog mereka. Keduanya sepakat bahwa ketidakpedulian kita terhadap komunitas-komunitas seperti ini terkadang bertumpu pada rasa takut kita untuk berjalan di jalan sunyi. Bung Steve telah melampaui rasa takut itu, sebagaimana ia telah lampaui ketakutan akan keterpurukan kesehatan yang mengharuskannya menjalani proses cuci darah dua kali dalam seminggu. Di penghujung khotbah dialog, keduanya bersepakat untuk meminta kita keluar dari ketakutan kita, semakin terbuka bagi orang-orang yang berbeda dengan kita dan terkucilkan.
Kepribadian yang hangat dan peduli yang dicerminkan almarhum diwujudkan pula dalam dukungan pada GKI Yasmin. Ia beberapa kali memimpin ibadah GKI Yasmin, baik di rumah-rumah jemaat maupun di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Juga aktif menjadi pendamping pihak GKI Yasmin ketika mereka memperjuangkan haknya untuk beribadah di gereja mereka sendiri dan aman dari kelompok masyarakat yang menolak keberadaan mereka.
Di masa pandemi, perhatian Pdt. Stephen bagi kelompok LGBTIQ tetap besar. Itu ia wujudkan dalam sebuah tulisan berjudul “LGBTIQ dan Perjuangannya Melawan COVID-19.” Di dalamnya Almarhum menggambarkan sejumlah catatan pengalaman transgender dan lesbian, tidak hanya yang Nasrani, tetapi juga Muslim, yang mengalami kerentanan lebih selama pandemi.
Kehilangan besar bagi sebagian masyarakat, khususnya yang membela isu-isu kemanusiaan, serta kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Selamat jalan Pdt. Stephen. Terima kasih untuk pengabdian, dedikasi dan semua perhatian bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.