FGD Manajemen Pencegahan Korupsi di Lingkungan Gereja
JAKARTA,PGI.OR.ID-Korupsi masih menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Meski berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan KPK, namun hal itu tidak serta merta membuat jera para pelaku korupsi. Sebab itu, menjadi penting bagi masyarakat sipil untuk dapat berperan serta melakukan upaya-upaya pencegahan tindak pidana korupsi ini.
Menyikapi hal tersebut, Bidang Keadilan dan Perdamain PGI melaksanakan kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) Manajemen Pencegahan Korupsi di Lingkungan Gereja, secara virtual, pada Jumat (5/11/2021).
FGD yang diikuti oleh para pendeta dan pimpinan sinode ini, dalam rangka mendapatkan masukan guna perumusan strategi tindak lanjut pencegahan korupsi di lingkungan gereja. Sehingga diharapkan gereja-gereja bisa menjadi role model pencegahan korupsi sebagai sarana kesaksiannya ditengah bangsa Indonesia.
Menurut Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, perilaku koruptif kini tidak hanya terjadi di lingkungan negara, tapi di seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam gereja, dan budaya korupsi juga telah menggilas habis idealisme generasi muda yang kita siapkan untuk memimpin bangsa ini ke depan. “Saya khawatir para koruptor menjadi teladan bagi anak-anak kita, karena koruptor seakan-akan sudah menjadi selebritis,” tegasnya.
Sebab itu, lanjut Ketum PGI, ada 5 kebiasaan baru yang perlu dikembangkan, diantaranya, Gereja harus terus-menerus mempersiapkan jemaat lewat pembinaan agar iman tetap tumbuh, sehingga berani menolak korupsi, memilih beribadah kepada Tuhan diatas segala-galanya, mengembangkan spiritualitas keugaharian, dan membenci pengajaran suap.
Sementara itu, Ajarani Mangkujati Djandam melihat, Gereja perlu membangun budaya dan integritas melawan korupsi. Karena menurutnya, sistim yang lemah dan perilaku yang tidak memiliki integritas, serta budaya juga menjadi pemicu tindak korupsi. “Budaya upeti misalnya, dianggap bukan budaya korup, dan dianggap wajar dalam budaya sosial, tapi dalam hukum positif tidak demikian. Ini juga perlu diperhatikan,” tandasnya.
Lebih jauh dijelaskan, ketika gereja mengangkat seseorang pejabat negara duduk dalam kepengurusan gereja, maka gereja tidak dapat melepas tanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh orang tersebut ketika melakukan praktik korupsi.
“Secara moral gereja harus malu, dan ini bisa menjadi peringatan untuk pentingnya uji kelayakan dilakukan oleh gereja. Selain itu, prinsip-prinsip good government juga harus dilakukan dalam gereja untuk mendukung pemerintah dalam melawan praktik korupsi,” kata jemaat GKI Kwitang, Jakarta ini.
Pemikiran menarik juga diungkapkan salah seorang peserta FGD, Pdt. Leo TB dari GMIT. Menurutnya, tidak adanya SOP, juknis, evaluasi dan monitoring dalam pengelolaan anggaran menjadi penyebab adanya praktik korupsi dalam gereja. Padahal semua ini sangat dibutuhkan.
Sebab itu, dia melihat perlunya PGI mengeluarkan semacam panduan dalam rangka monitoring dan evaluasi pengelolaan anggaran di gereja. Penting pula mendorong gereja-gereja memanfaatkan teknologi melalui aplikasi keuangan agar transparansi dalam pengelolaan anggaran yang dapat dipercaya bisa dilakukan.
Pewarta: Markus Saragih