PGI Hadiri Pertemuan Internasional PaRD
BALI,PGI.OR.ID-Bersamaan dengan dihelatnya pertemuan R20 yang mempertemukan pemuka lintas agama dari berbagai negara menjelang pelaksanaan pertemuan presidensi G20 di Bali, sebuah koalisi internasional lintas agama juga menyelenggarakan forum tahunan mereka di Seminyak, Bali, 31 Oktober – 3 November. International Partnership on Religion and Sustainable Development (PaRD) bekerjasama dengan Kementerian Agama RI menggelar forum tahunannya yang dikemas dengan tema “Faith and Partnership in Addressing the Climate Crisis.”
PaRD beranggotakan 123 organisasi berbasis agama dan keyakinan dari seluruh dunia, serta tujuh organisasi pemerintah, dan sembilan lembaga penelitian. Keanggotaan PaRD sejauh ini bersifat sukarela dan terbuka untuk semua entitas pemerintah dan antar-pemerintah yang aktif di bidang agama dan pembangunan serta bantuan kemanusiaan.
Pertemuan yang bertempat di The Trans Resort, Seminyak, diawali oleh Menteri Agama RI, Bapak Yaqut Cholil Qoumas, sebagai keynote speaker yang hadir secara daring. Di hadapan lebih kurang 120 peserta dari perwakilan pemerintah, akademisi/lembaga penelitian, masyarakat sipil, khususnya komunitas agama, spiritual, adat, pakar dan praktisi pembangunan, Menag menegaskan bahwa “Agama menawarkan inspirasi spiritual yang bisa dijadikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi dunia internasional saat ini. Begitu banyak persoalan di dunia yang tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan sains dan teknologi semata,”
Menteri Agama selanjutnya mencontohkaan peran agama-agama yang sangat signifikan dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat selama Pandemi Covid-19. “Ajaran agama berperan sangat signifikan dalam meningkatkan imunitas spiritual khususnya dalam upaya peningkatan kesehatan mental dalam menghadapi pandemi Covid-19. Upaya ini terbukti mempercepat proses penyembuhan pasien Covid-19,” ujarnya.
Terkait peran agama-agama dalam upaya pencapaian SDGs, Menag mengatakan, “Praktik keagamaan telah menjadi nilai sehari-hari masyarakat Indonesia. Peningkatan spiritual melahirkan manusia ideal yang mengutamakan kehidupan sosial dan peduli terhadap lingkungan. Manusia ideal terbentuk dari norma budaya dan kebiasaan sehari-hari yang dibutuhkan dalam mewujudkan upaya pembangunan berkelanjutan.”
Mempertimbangkan banyaknya tema serius yang harus dipercakapkan terkait peran agama-agama dalam pengelolaan dampak krisis iklim, pertemuan empat hari itu digelar dalam bentuk plenari maupun percakapan kelompok (parallel sessions). Setiap sesi juga dikelola secara hybrid untuk memfasilitasi partisipasi anggota-anggota PaRD dan narasumber yang tak bisa hadir di Bali. Isu-isu yang digelar dalam pertemuan ini sangat menarik dan terintegrasi satu sama lainnya, sehingga potret tentang peran agama-agama dan kepercayaan dalam mengelola krisis perubahan iklim bisa dihadirkan secara utuh.
Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Manuputty bersama Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif PGI yang membidangi isu lingkungan dan kerjasama antaragama, diundang mewakili PGI sebagai narasumber dalam panel mengenai ‘Gerakan Antaragama Menanggapi Krisis Iklim.’ Sepanggung bersama Amanah Nurish, Dosen Univ. Indonesia dan KAICIID Fellow, Jero Jemiwi (aktifis lingkungan dan antaragama dari Bali), panel yang dipandu oleh Filip Buff dari Jaringan Denmark untuk Agama dan Pembangunan, membagi pengalaman-pengalaman pengelolaan dampak krisis lingkungan berbasis agama dan keyakinan di Indonesia.
Pada panel ini, Sekum PGI menjelaskan bahwa kepedulian gereja-gereja di Indonesia terkait permasalahan lingkungan sudah terdokumentasikan sejak 1971 dalam Sidang Raya PGI ke-VII di Pematang Siantar. Setidaknya hal itu nampak dalam perumusan tugas dan panggilan gereja untuk memberitakan Injil bagi semua ciptaan. Dalam penyusunan perencanaan strategis PGI selama lima tahun (2019-2024), tanggung-jawab gereja terhadap ketidak-adilan, hak asasi manusia, dan isu lingkungan berhimpitan dengan jelas.
Manuputty menegaskan bahwa kepedulian terhadap krisis lingkungan berimplikasi pada tanggungjawab advokasi yang harus dikerjakan juga oleh gereja-gereja. Krisis lingkungan menurutnya tidak semata terkait dengan sebab-sebab natural, tetapi juga diakibatkan oleh perilaku-perilaku rakus perusahan-perusahan multi-national dan trans-national yang didukung oleh produk regulasi yang tak berpihak pada lingkungan. Krisis lingkungan terkait dengan pilihan model pembangunan yang melegitimasi penggunaan kapital dan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar. Krisis lingkungan juga merupakan persoalan ketidak-adilan, ketidak-pedulian (etis), serta rusaknya relasi saling bergantung, kata Manuputty. Karena itu, mengelola krisis lingkungan adalah perjuangan yang tidak ringan dari komunitas masyarakat lokal, jaringan pendukung, sampai pada advokasi bagi perubahan kebijakan. Gereja harus hadir dalam setiap tahap perjuangan itu, tukasnya.
Di kesempatan yang sama, Pdt Jimmy Sormin turut menegaskan perspektif ‘mendiami rumah bersama sebagai satu keluarga Allah’ telah menjangkarkan tanggung-jawab pemeliharaan lingkungan sebaga isu strategis yang selalu diangkat oleh PGI di antara berbagai isu terkait lainnya. Gereja terpanggil untuk selalu menghadirkan ‘shalom’ bagi semesta, karenanya tanggungjawab pemeliharaan lingkungan adalah tanggungjawab iman.
Bertindihan dengan isu relasi antariman, Sormin menginformasikan bahwa PGI selama ini terlibat aktif dalam gerakan ‘Interfaith Rainforest Inititive’ di Indonesia, bahkan saat ini dipercaya untuk memimpin gerakannya. Menurutnya, dalam banyak kasus perusakan lingkungan keterlibatan orang-orang Kristen juga terlihat jelas. Hal ini terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi sikap advokasi gereja, apalagi bila para aktor di balik perusakan lingkungan itu adalah para pejabat publik sekaligus warga gereja.
Penjelasan mengenai inisiatif gereja-gereja di indonesia dalam penanganan krisis iklim melalui kerja-kerja lintas agama memperoleh apresiasi tinggi dari peserta yang hadir. Indonesia dianggap sebagai negara besar dengan keunikan pengelolaan peran agama di ruang publik, termasuk ketika bersinggungan dengan tanggungjawab pemeliharaan lingkungan. Banyak peserta mengaku, ada banyak pembelajaran yang bisa diambil dari Indonesia terkait peran penting agama-agama dalam pembangunan berkelanjutan.