BALI,PGI.OR.ID-Konferensi internasional ke-21 mengenai studi-studi Islam (The 21st AICIS Annual International Conference on Islamic Studies) berlangsung dengan semarak di dua wilayah berbeda, Lombok dan Bali. Kegiatan di Bali bertempat di Hotel Four Points Nusa Dua, 3-7 Oktober 2022.
Konferensi yang digelar dengan tema “Future Religion in G20: Digital Transformation, Knowledge Management, and Social Resilience,” menghadirkan puluhan narasumber menarik dari dalam dan luar negeri. Konferensi ini mengangkat isu-isu terkini studi Islam ke dalam tiga topik utama, masing-masing; Humaniora Digital, Manajemen Pengetahuan, dan Ketahanan Sosial.
Terkait Humaniora Digital, konferensi ini menggali gagasan ‘digital turn’ dan pengaruhnya pada pemahaman klasik tentang studi Islam. Topik Manajemen Pengetahuan secara kritis membahas urgensi reformasi kelembagaan dalam transformasi studi Islam yang bisa menawarkan tata kelola pengetahuan yang sesuai dengan masyarakat yang cepat berubah. Percakapan tentang Ketahanan Sosial menelisik secara dekat ruang-ruang sosiologis dan pribadi dari subjektivitas Muslim. Di segmen ini percakapan akan difokuskan pada ketahanan sosial Muslim di dunia global kontemporer.
Dalam sesi “Religious Council Talks” yang memanggungkan nara sumber dari enam lembaga agama, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Manuputty hadir mewakili Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia.
Mengapresiasi acara ini, Pdt. Jacklevyn menyampaikan bahwa tema yang dipilih untuk mengemas acara ini sangat kontemporer dan menjadi pergumulan bersama agama-agama saat ini. Gereja-gereja di Indonesia juga mengalami pergulatan yang tidak mudah untuk menyelaraskan diri dengan era transformasi digital yang menantang gereja untuk beradaptasi secara teologis, moral, dan spiritual.
Menurut Pdt. Jacklevyn, perkembangan digitalisasi dalam kehidupan berlangsung sangat cepat dan masif. Percepatannya jauh meninggalkan kepampuan adaptasi gereja-gereja. Perkembangan ini turut mempengaruhi manajemen pengetahuan yang juga mengalami transformasi dengan cepat. Pengetahuan yang katanya dulu harus dicari sampai ke negeri China, sekarang hadir secara berlimpah di ruang-ruang privat, dan bisa diakses dengan mudah hanya dengan memanfaatkan dua jari di atas gadget-gadget pintar yang semakin hari semakin murah harganya.
Dalam situasi ini, pengelolan pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas, toleransi, dan solidritas, dalam rangka pelayanan kemanusiaan dan lingkungan harus sungguh-sungguh menjadi perhatian agama-agama. Dengan begitu, aplikasi pengetahuan memiliki signifikansi etisnya bagi transformasi kehidupan yang lebih bermartabat.
Terkait aspek Ketahanan Sosial, Manuputty menggaris-bawahi disrupsi transformasi digital bagi ketahanan sosial, terutama ketika kelompok-kelompok masyarakat tak bisa beradaptasi dengan dampak dari era transformasi digital. Jarak sosial akan semakin melebar antara kelompok masyarakat yang mampu beradaptasi dengan komunitas yang bahkan tak memiliki kecukupan akses untuk memanfatkan kemajuan tekhnologi digital. Indonesia sangat luas dan beragam, termasuk keragaman dalam kemampuan untuk beradaptasi dengan kemajuan.
Selain implikasi disrupsi transformasi digital bagi ketahanan sosial, Manuputty juga mengingatkan berbagai situasi yang saat ini turut berdampak pada melemahnya ketahanan sosial, seperti Pandemi Covid-19, bencana alam dan bencana sosial, politisasi identitas dan perkembangan populisme.
“Tingkat frustrasi dan bunuh diri meningkat dari waktu ke waktu. Beberapa hari yang lalu di Jakarta, pemuka-pemuka agama menandatangani deklarasi bersama antaragama untuk mengelola berkembangnya kasus-kasus kesehatan jiwa dan kecenderungan bunuh diri yang meningkat di tengah masyarakat,” ungkap Manuputty.
Mengakhiri ulasannya pada acara pembukaan yang dihadiri oleh lebih kurang 350 peserta dari seluruh Indonesia, Manuputty menegaskan peran penting agama-agama saat ini. ‘Sejak dua dekade lalu, lembaga-lembaga sekular dan berbagai agen pembangunan semakin sadar akan peran penting agama-agama yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari kerja-kerja pembangunan dunia,’
Selanjutnya ia menggaris-bawahi bahwa dalam seluruh tantangan dan peluang ini, agama-agama harus sungguh-sungguh mempersiapkan dirinya dan bekerjasama untuk meningkatkan relevansi misinya di tengah dunia yang sedang berubah. Ada dua peran eksistensial yang harus dilakoni agama-agama saat ini, katanya. Pertama, tugas penting agama-agama saat ini untuk menjadikan dirinya sebagai ‘sumber makna,’ jalan bagi masyarakat untuk menemukan makna hidup yang pasti dalam perkembangan kontemporer yang berlangsung cepat dan masif.
Kedua, agama-agama harus menempatkan dirinya sebagai ‘penggerak solidaritas kemanusiaan’ yang selalu siap mendampingi masyarakat untuk meningkatkan ketahanan sosial di tengah berbagai tantangan perubahan yang terjadi di sekitarnya. “Untuk mengimplementasi dua peran itu maka dialog dan kerjasama antaragama bukan lagi merupakan pilihan tetapi sebuah keharusan,” tukas Manuputty.