JAKARTA,PGI.OR.ID-Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI menggelar uji publik atas draft Panduan Kebijakan Responsif Gender PGI, dengan melibatkan aktivis perempuan, pendeta, akademisi, perwakilan komisi perempuan dan anak sinode gereja, dan PGIW, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Kamis (18/1/2024).
Uji publik yang dilaksanakan bersama Kompera PGIW DKI secara hybrid ini, untuk menjaring masukan, saran, dan lainnya, dalam rangka penyempurnaan panduan tersebut. Hasilnya akan dibawa ke Sidang MPL-PGI 2024 di Mentawai.
Wasekum PGI Pdt. Krise Anky Gosal dalam sambutannya via zoom, menyampaikan uji publik menjadi penting mengingat akan menjadi kebijakan-kebijakan terkait gender yang mengikat gereja-gereja di Indonesia. Menurutnya, telah cukup lama rekomendasi perlunya panduan kebijakan ini, mulai dari Sidang Raya XVI di Nias, yang disepakati untuk ditindaklanjuti. Namun, dalam Konas Perempuan berkembang agar PGI cukup memberi panduan, dan gereja-gereja akan melengkapinya dengan kebutuhan lokal, dalam menyusun kebijakan keadilan dan kesetaraan gender di lingkungannya.
“Selanjutnya, dalam Sidang Raya ke XVII di Sumba merekonferm ulang karena masih sangat dibutuhkan oleh gereja. Sebab itu, di SR di Sumba PGI membentuk tim yang sudah bekerja keras menyusun tapi terkendala salahsatunya pandemi covid 19,” ungkap Wasekum PGI.
Beberapa tahun terakhir ini, lanjut Pdt. Krise, kita menghadapi tantangan dari berbagai isu akibat lemahnya pemahaman tentang HAM maupun keadilan dan kesetaraan gender. Sebab itu, diharapkan uji publik ini akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang bermanfaat bagi semua. PGI pun akan mendukung gereja yang ingin menjemaatkan panduan ini.
Pada kesempatan itu, narasumber yang juga anggota tim penyusun panduan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani mengungkapkan, bahwa perhatian gereja-gereja terhadap isu ketidakadilan, kekerasan dan pembebasan serta perdamaian bagi perempuan dan kaum rentan lainnya bahkan keadilan ekologis telah lama diperjuangkan oleh gereja-gereja pada level oikumene global maupun regional hingga gereja-gereja di Indonesia.
Menurutnya, panduan tersebut bertujuan antara lain memfasilitasi dan memperlengkapi gereja-gereja anggota PGI memliki panduan kebijakan responsif gender, serta mendorong gereja-gereja untuk mengimplementasikan kebijakan responsif gender dalam kehidupan bergeraja dalam konteks masing-masing. Selain itu, meningkatkan kapasitas dan kualitas pimpinan/pelayan/aktivis gereja dalam pelayanan yang responsif gender.
Sedangkan sejumlah dokumen yang menjadi dasar penyusunan kebijakan gereja berbasis gender yaitu The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Sustainable Development Goals (SDG’s) atau Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Lebih jauh dijelaskan, sebelum implementasi kebijakan gereja responsif gender, ada sejumlah tahapan-tahapan yang harus dilakukan, seperti penguatan komitmen, penguatan kebijakan, penguatan kelembagaan, penguatan sumber daya manusia dan anggaran, penguatan data terpilah, penguatan istrumen perencenaan pengangaran rensponsif gender (PPRG), dan penguatan partisipasi gereja serta warga jemaat.
“Untuk Langkah berikutnya sosialisasi, menyusun aturan dengan memperhatikan responsif gender, implementasi kebijakan gereja responsif gender, implementasi penyusunan aturan-aturan gereja yang mengacu pada panduan responsif gender, replikasi, monitoring dan evaluasi,” tandasnya.
Uji publik juga diisi dengan diskusi kelompok. Dari diskusi ini muncul sejumlah masukan menarik seperti perlunya sinergitas dari woman crisis centre yang sudah ada untuk saling berbagi dan menguatkan, contoh praktis bahan PA berspektif keadilan Gender dimuat dalam buku (sebagai lampiran), dan hotline pelayanan pendampingan terhadap kasus kekerasan dilampirkan dalam buku agar dapat dihubungi oleh jemaat apabila ada kasus kekerasan.
Selain itu, kelompok disabilitas perempuan dan anak mendapat perhatian dalam buku panduan ini, catatan akademik bisa diinput masuk ke dalam draft, juga ada beberapa teologi yang berkembang manakah yang dipakai untuk mendukung ini (teologi pembebasan, teolgi feminis), serta update Catahu (2022 ke 2023).
Sementara peserta merekomendasi sinergitas dari PGI dan WCC yang ada di sinode/gereja dengan model dan teknisnya bisa disesuaikan, penelitian lanjutan terkait isu gender, perlu diperhatikan juga perspektif pemimpin sinode/gereja, Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) bisa dimasukkan dalam BAKI (bahan perenungan/PA).
Pewarta: Markus Saragih