RUU Kesehatan, Hasil Riset INFID Usulan Perbaikan Tata Kelola BPJS Kesehatan
JAKARTA,PGI.OR.ID-Revisi Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law kesehatan saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. RUU Kesehatan memuat banyak UU terkait isu kesehatan yang sudah cukup lama belum diperbarui, seperti UU Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Dalam siaran persnya yang dikeluarkan belum lama ini, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) baru saja selesai menyusun dua riset terkait jaminan kesehatan nasional (JKN), yaitu Riset JKN Tata Kelola BPJS Kesehatan dan Perbandingan Kawasan ASEAN, serta Riset Stakeholder Penguatan Sistem Kesehatan di Indonesia Pasca Pandemi COVID19. Kedua riset kualitatif melibatkan pemangku kepentingan ekosistem kesehatan, seperti penyelenggara faskes, perwakilan industri farmasi, perwakilan asuransi kesehatan, perwakilan penyelenggara JKN, penyintas COVID19 dan lainnya
Penanganan dan sistem kesehatan di era COVID-19 tidak berjalan secara efektif saat pencegahan (testing, tracing, dan tracking) dan penanganan lonjakan kasus. Riset menemukan Puskesmas sebagai Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) belum berfungsi optimal khususnya dalam upaya promotif-preventif, sehingga memberi beban berlebih terhadap Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Selain itu sistem kesehatan belum mampu merespon health seeking behavior, dimana warga cenderung melakukan perawatan di rumah. Hal ini dibuktikan dari tingginya angka korban meninggal COVID-19 yang berada di rumah, yaitu mencapai 80%.
JKN juga belum efektif dalam memenuhi prinsip Universal Health Coverage (UHC). Masih terjadi kelemahan validasi data peserta yang membuka peluang praktik pemalsuan data bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU), tidak semua badan usaha mendaftarkan pekerjanya dalam program JKN akibat belum adanya mekanisme pemberian sanksi. Kenaikan besaran iuran bagi segmen Pekerja Informal atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta rencana iuran yang seragam yaitu Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) juga berpotensi memperlambat pencapaian target kepesertaan JKN.
Hal yang perlu diapresiasi adalah peringkat Indonesia dalam UHC antar ASEAN menurut WHO, yaitu Indonesia (skor 92) berada di atas Thailand (83) dan Malaysia (77). Namun demikian, Indonesia (48,7) masih jauh dibawah Thailand (71,6) dan Malaysia (66,6) berdasarkan UHC perhitungan efektivitas belanja per kapita terhadap pengeluaran kesehatan (UHC IHME). Praktek baik di Filipina dapat diadopsi untuk tata kelola JKN Indonesia, yaitu di Filipina hanya diidentifikasi dua kelompok peserta JKN, yaitu pekerja formal dan penduduk miskin.
Ari Wibowo, peneliti riset INFID, “BPJS Kesehatan perlu menentukan formula terbaik dalam menentukan pembayaran iuran, khususnya dari sektor pemberi kerja. BPJS misalnya perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah (kementerian lembaga terkait) untuk memberikan peringatan/sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Selain itu BPJS perlu melakukan pengawasan berkala regional pada saat dan untuk re-credentialing, khususnya bagi faskes yang potensi melakukan fraud”.
Bona Tua, Senior Program Officer SDGs INFID, “Dana abadi iuran bagi peserta PBI diperlukan untuk mencapai cakupan peserta JKN BPJS Kesehatan. Dana ini bisa melalui optimalisasi sin tax, Silpa atau alokasi khusus APBN untuk Sovereign Wealth Fund. Dana abadi yang dipupuk ditujukan untuk jaminan iuran untuk UHC, bukan untuk peningkatan kualitas atau perluasan layanan kesehatan BPJS kesehatan”.
Menanggapi paparan riset, Brian Sri Prahastuti dari Kantor Staf Presiden menilai cara mengkaji penelitian sangat menarik karena sudah melakukan komparasi antar negara, “Harus dilihat juga perbandingan manfaat JKN di masing-masing negara tersebut, apakah sama dengan manfaat di sistem JKN kita. Hal ini, karena sejauh ini kita belum mengatur dari sisi manfaat. Masih ada kecenderungan bahwa manfaat ini unlimited. Contohnya untuk korban Kekerasan Seksual, maunya juga ditanggung oleh BPJS. Saya juga ingin tahu, di negara-negara lain itu sifatnya unlimited atau limited.”
Kemudian Brian melanjutkan dengan menanggapi skema pendanaan JKN BPJS Kesehatan di luar hasil iuran atau premi peserta, “Contoh co-funding yang sudah pasti berjalan adalah jaminan persalinan (jampersal). Dananya bukan dari hasil premi atau iuran. Dimungkinkan juga untuk diimplementasikan ke program nasional lain seperti penanggulangan tuberkulosis, HIV dan lainnya.”
Timboel Siregar dari BPJS Watch menyatakan riset ini dapat menjadi masukan atau bagian dari naskah akademik untuk pemerintah, khususnya dalam merevisi Perpres 64 dan Perpres 82/2018. Ia juga memandang bahwa kepesertaan menjadi salah satu core dalam problem BPJS.“Terkait JKN atau BPJS, kepesertaan merupakan kunci menyangkut bagaimana orang bisa tertolong dalam masalah kesehatan. Per 31 Agustus 2022, cakupan kepesertaan Program JKN jumlahnya 243.282.029 peserta atau 88,83% dari total penduduk Indonesia. Angka-angka ini sangat besar. Namun, terkait dengan klaim 88,83% peserta itu hanya yang sudah membayar iuran. Di sisi lain, peserta yang tidak aktif membayar atau belum mendaftar itu belum mendapatkan layanan. Terkait klaim ini, di tahun 2021-2022, ada peningkatan peserta yang non-aktif. Dari realisasi yang kita temukan, hanya 90 jutaan, dan banyak yang non-aktif. Kemudian, terdapat 17 juta yang tidak aktif tidak bisa dikatakan sebagai peserta. Sehingga, menurut saya, hanya 70 jutaan.”
Pewarta: Markus Saragih